Selamat datang....

Semoga setelah membaca perasaan anda menjadi PLONG!

Selasa, 01 November 2011

Kecendekiawanan Islam

Setelah belajar tentang sejarah Negeri Turki dan Negeri Jepang, saya teringat akan budaya taqlid dan ijtihad. Walaupun saya bukan ahli fiqih, namun pengen rasanya membahasnya karena beberapa hal berhubungan dengan tradisi kecendekiawanan. Taqlid merupakan suatu mekanisme pewarisan dan pengakuan otoritas masa lampau yang menghasilkan akurasi pengalaman dan informasi. maka tidaklah mengherankan dalam kehidupan kita mengandung unsur taqlid. Yang merupakan larangan adalah paham taqlid artinya taqlid sebagai isme yang tertutup. Sehingga cenderung mensakralkan masa lampau atau orang-orang suci terdahulu. Inilah yang kemudian menghasilkan kaum konservativisme yang tidak inklusif.

Cobalah kita melihat perjalanan Bangsa Turki sebagai bangsa bukan barat yang dipelopori oleh Kemal Pasha (nggak ada hubungannnya dengan UNGU) sebagai bangsa yang berusaha dan mendeklarasikan sebagai negara modern. Sampai detik ini saya menulis, kenyataan menunjukkan belum berhasil menjadi negara modern. Turki tetaplah menjadi bagian dari anggota negara-negara dunia ketiga. Sangatlah kontras jika dibandingkan dengan Bangsa Jepang yang lebih berhasil menjadi modern daripada Turki yang Islam. Padahal afinitas kultural antara orang Islam dan barat lebih dekat dibandingkan dengan Jepang. Dan sampai detik ini, Jepang jauh melampaui Turki dalam prestasi, sungguh menakjubkan.

Ada sesuatu yang mesti diluruskan tentang orang-orang Islam, berkaitan dengan taqlid dan ijtihad. Ketika pasukan Mongolia menjarah dunia Islam pada dinasti Abbasiyah dengan menghancurkan Baghdad, eskalasinya tidak sampai Mesir. Sebuah keberuntungan yang akhirnya disaat sekarang ini dunia Islam masih memiliki Universitas Al Azhar sebagai pusat intelektualisme. Ini disebabkan Mesir masih bisa dan berhasil meneruskan tradisi kecendekiawanan Islam. Namun untuk menjadi negara modern, Mesir pun mulai berubah tradisi meniru barat sebagai patokan. Banyak ulama Islam yang tidak sanggup mengembangkan pemikiran-pemikiran baru dalam menyelami dan memahami kandungan al Qur'an. Mereka mengadopsi hukum-hukum barat untuk mengganti hukum-hukum Islam.  Gejala tersebut melanda ke seluruh bangsa-bangsa Muslim di dunia, tentunya termasuk di nusantara, yang saat ini berdiri Negara Indonesia. Akibatnya adalah tidak berkembangnya keilmuan Islam dalam kehidupan alam yang semakin komplek.

Sebenarnya baik Turki, Mesir dan Indonesia merupakan pelajaran terbaik tentang dampak pemutusan kultural intelegensia dengan masa lampaunya. Jika Turki disimbolkan dengan keputusan Kemal Pasha menggantikan huruf hija'iyyah Arab  sebagai medium penulisan ilmu pengetahuan dengan tulisan latin. Bangsa Turki sekarang ini akhirnya tidak bisa menggali lagi khasanah kekayaan dunia keilmuan pada masa Kekhalifahan Utsmani dan tidak mampu memahami warisan budaya mereka sendiri, jika dicoba pun harus memulainya kembali dari nol. Jadi orang Turki menjadi tawanan kekinian dan kedisinian, yang tidak bisa lagi menengok kebelakang (tertutup) akibat dari penggantian huruf tadi dan sulit untuk menengok ke depan karena harus menghadapi bangsa Eropa yang sudah demikian kompetitifnya. Inilah akhirnya membuat Turki mengalami kemiskinan intektual, dengan minimnya karya-karya besar dari orang Turki sekarang. Tidak jauh terjadi hal seperti itu pada bangsa Mesir dan bangsa Indonesia.

Sedangkan disatu pihak, Jepang selalu memelihara kontinuitas tradisi. Artinya ada tradisi taqlid pada mereka, sekali lagi bukan taqlidisme. Mereka menjadi negara ultramodern sekarang dengan tidak terputus dari masa lalunya. Bangsa Jepang tidak pernah berpikir untuk mengganti huruf Jepang dengan huruf laatin dalam dunia keilmuan dan keseharian. Oleh karena itulah, mereka menengok masa lalu dengan penuh konfidensi dan kebanggaan. Kemodernan Jepang adalah bagian dari pada kejepangan. Sementara di Turki, kemodernan disimbolkan adanya penggantian sorban dengan topi, huruf Arab dengan huruf latin, bahasa Arab sebagai bahasa nasional dengan bahasa suku Turki. Tentunya kemodernan di Turki bukannya menjadi keturkian namun menjadi sesuatu yang aneh dan asing. Disinilah taqlid harusnya menjadi media dan cara untuk menjaga kontinuitas budaya.

Untuk melakukan ijtihad, dapat menggunakan banyak metode bagi ulama yang berkompeten yaitu dengan al-mashalihul mursalah (kepentingan umum), istihsan, istishlah dan istishhab. Semua itu merupakan variabel-variabel yang digunakan untuk pertimbangan sebelum berijtihad dimasa sekarang. Sehingga kalau mengutip ahli fiqih, bahwa tindakan seorang pemimpin seharusnya mengambil tindakan yang efektif. Maksudnya bahwa setiap keputusan pemerintah kepada rakyatnya harus mempertimbangkan kepentingan umum (al maslahatul ammah). Sedangkan kalau melakukan istihsan yaitu pertimbangan kepentingan umum secara independen dapat mengakibatkan pemerintah sebagai penetap hukum yang independen dan dapat 'menyaingi kekuasaan Tuhan'. Meskipun ijtihad merupakan kebebasan, namun kebebasan yang terbatas bukan kebebasan berpikir yang mutlak. Terbatas akan adanya aturan baku dari Allah Ta'ala kepada rasulNya Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam dengan pemahaman para sahabatnya yang mulia.Keterbatasan tersebutlah yang disebut taqlid, yaitu penerimaan nash, memperhatikan apa yang telah menjadi semangat dari agama. Dan itu yang menjadi dasar validitas suatu hasil ijtihad.

Ijtihad merupakan suatu kegiatan intelektual dalam Islam yang harus tetap berada dalam koridor keislaman sehingga diperlukan otentisitas secara tekstual maupun historis. Artinya, bisa dirujuk secara jelas dan otentik dalam arti nash maupun historis yaitu kekayaan intelektual kita dalam sejarah. Tentunya dengan kondisi ummat manusia dari satu dekade ke dekade selanjutnya hingga yaumul akhir diperlukan ijtihad, agar peran Islam rahmatan lil 'alamin benar-benar optimal. Ijtihad yang seharusnya bersifat otentik, sangat erat kaitannya dengan dinamika dan pertumbuhan, maka ijtihad merupakan keharusan yang alami. Rasulullah pernah bersabda bahwa barangsiapa berijtihad  dan benar mendapatkan dua pahala, dan arangsiapa berijtihad dan kemudian salah maka mendapatkan satu pahala. Jika memahami lebih luas hadits tersebut, tentunya kita bangsa Indonesia haruslah selalu bertumbuh membawa Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban dengan menumbuhkan kecendekiawanan.
Wallahu a'lam bi ash shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar