Sedari awal anak-anak saya sudah belajar kata 'tidak!' ketika kami orang tuanya memberikan beberapa pancingan. Pagi ini sebelum berangkat sekolah si bungsu diminta ibunya memakai baju,"Ayo nak, bajunya cepat dipakai." "Tidak!" jawabnya. "Aku minta baju lain!" dia memberi alasan mengapa tidak mau memakai baju yang disodorkan atau pilihan ibunya. Ketika menceritakan sesuatu kepada si sulung dan si tengah, kadang dengan sengaja saya menyelipkan beberapa kata yang masih asing ditelinganya. Kemudian saya bertanya,"Ada yang ditanyakan nak, mungkin tidak maksud kata-kata abah?" Dia menjawab,"Apa sih maksudnya bla...bla...bla?" Sehingga, seringnya dia belajar berkata tidak dan belajar bertanya mengakibatkan kekritisannya muncul. Akhirnya, seringkali gurunya dibuat repot dengan segala bentuk protes.
Sangatlah naif jika banyak anak-anak kita yang hanya diajarkan bagaimana berkata,"Ya saya paham!" padahal mereka tidak mengerti, dan tetap tidak mengerti. Berkata demikian karena dorongan rasa takut dimarahi jika dikatakan tidak tahu alias bodo, atau takut berkata tidak dengan penolakan tersebut mengakibatkan munculnya kekerasan pada mereka, atau hanya sekedar menyenangkan penanya agar tidak terlalu lama pembahasan karena mereka sudah bosan. Anak-anak banyak diajarkan tentang penyeragaman, pemaksaan kehendak untuk mengikuti alur pemikiran orang lain dan tidak mengenal dirinya sendiri.
Untuk belajar berkata "Tidak!", kita dapat menengok kisah budak yang bernama Spartacus. Dia terlahir sebagai seorang budak, ya benar budak struktural warisan kedua orang tuanya. Sejak pertama kali menarik nafas dia telah terelenggu di bawah ketiak orang Romawi. Para budak memecahkan gunung batu dengan otot-otot mereka yang kuat bertumbuh. Untuk pembebasan, maka yang harus dikatakannya adalah berkata,"Tidak!". Bersama budak lain yang dipimpinnya, Spartacus melarikan diri, menghimpun kekuatan, dan memperhitungkan tempo yang tepat untuk meninggalkan Romawi menuju kemerdekaan.
Berbekal kekayaan yang mereka kumpulkan, akhirnya Spartacus dan kawan-kawan berhasil memesan 500 kapal kepada seorang perompak. Namun usaha mereka telah tercium oleh tuannya bangsa Romawi. Sehingga bajak laut yang dipesani kapal datang kepada Spartacus untuk membatalkan perjanjian mereka beberapa hari menjelang rencana. "Maaf sobat, Romawi telah memaksaku mengingkarimu," kata sang perompak. "Kalau begitu, kami akan berperang melawan pasukan Romawi!" kata Spartacus dengan geram. Perompak memberikan nasehat," Jangan sobat, lihatlah nasibmu pada bola nujum. Kau akan kalah!". "Huahaha...kami akan menang, sobat!" jawab Spartacus tak kalah garang. "Kau akan mati. Apakah kau tetap akan berperang walaupun sudah tahu pasti akan mati?" tanya perompak. Dengan segala kemantapan hati, Spartacus menjawab,"Jika kau bangsawan Romawi, maka kematian menjadi sebuah bencana. Namun bagi seorang budak, kematian adalah pembebasan. Aku akan berperang melawan mereka, karena apapun hasilnya, kamilah pemenangnya!"
Disusunlah barisan kekuatan para budak untuk menghadang laju gerakan pasukan Romawi yang semakin mendekat. Perang pun meletus dan diakhiri dengan penawanan para budak kembali. Saya tidak mengatakan kemenangan Romawi ataupun kekalahan para budak. Semua budak tertangkap dan sebagian gugur membela kehormatannya. Disaat seperti itulah, Varinia istri Spartacus melahirkan bayi mereka. Bayi yang lahir dalam keadaan suci namun menjadi budak seperti orang tuanya. "Hai budak! Akhirnya kalian kembali ke tempat asal kalian..." seru seorang tuan Romawi bernama Crassus kepada sisa-sisa laskar budak yang dirantai menjadi tawanan.
Saudaraku, itulah kehidupan semu. Setiap kekuasaan yang diperoleh karena nafsu, pada dasarnya manusia selalu gemar dengan ketidaksetaraan. Mereka sengaja mengumbar hawa nafsunya agar dari masa ke masa selalu ada penghambaan, eksploitasi dan patronase. Dalam semua segi kehidupan. Kehidupan yang semu. Amarah yang menyala di mata Spartacus menentang mata Crassus. Maka panglima pasukan Romawi itu menjadi bergetar dan merasakan hawa dingin yang merasuki seluruh tubuhnya. Kesombongan yang telah diajarkan iblis membuatnya mendongak ke atas, sebuah upaya menghindari tatapan mata tajam Spartacus.
"Yang manakah Spartacus?" berteriak lantang ia mencari diantara sekian orang bermata tajam. Tidak disangka, satu per satu para tawanan yang dirantai berdiri tegak dan mengatakan,"Aku Spartacus!" Crassus semakin gemetaran. Tidak kurang akal, maka segera ditemui pedagang budak yang dulu menjual Spartacus. Dengan mudah Spartacus dapat dikenali sejak kedatangannya dalam penjualan budak di arena gladiator. Sejak itulah Spartacus menjadi sahabat Antoninus, bekas budak Crassus. Sahabat terdekat yang saling mencintai di kala suka dan duka tentunya. Dibisikkanlah sebuah ungkapan legendaris kepada sahabatnya,"Apabila ada seribu orang yang menyatakan 'tidak', maka Romawi akan jatuh dan para budak akan menjadi orang bebas!".
Ucapan 'tidak!' itulah yang sangat tidak disukai Crassus dan tuan-tuan Romawi. Tidak boleh seorangpun yang mengucapkan kata 'tidak!' karena akan mengurangi dan merongrong kewibawaan Imperium Romawi. Kekuasaan adikuasa Romawi tidak boleh ditundukkan oleh seorang budak. Sebagaimana kekuasaan rezim Amerika Serikat dengan hak veto di PBB tidak boleh ditundukkan oleh bangsa Palestina. Kekuasaan status quo selalu terusik ketika ada klilip-klilip kebenaran yang diungkapkan. Kekuasaan yang gemetar ketakutan oleh kata 'tidak!' membawa Spartacus dan Antoninus segera dilemparkan di tengah arena. "Aku akan menguji rasa kesetiaan para budak, bertarunglah kalian!," kata Crassus.
Dua orang sahabat erat saling erhadapan. Keduanya membawa pedang terhunus. "Aku akan membunuhmu Spartacus. Sebab, jika kau keluar dari arena ini, mereka bangsat Romawi itu pasti akan menyalibmu. Karena cintaku, aku tak tega kau disalib oleh meraka,"bisik Antoninus menjelang pertarungan. Spartacus membalas,"Aku yang akan membunuhmu, ini perintahku terakhir! Romawi keparat itu tak boleh menyiksamu di tiang salib." dan pertarungan dimulai dengan kesungguhan, masing-masing berikhtiar untuk membunuh sahabat terdekatnya. Sebab, kematian adalah pembebasan. Pertarungan berakhir ketika mata pedang Spartacus menancap di dada Antoninus. "Maafkan aku," bisik Spartacus ke telinga karinya. "Aku mencintaimu, Spartacus! Seperti aku mencintai ayahku yang mengajarku menyanyikan lagu-lagu kebaikan," rintih Antoninus menjelang ajalnya. Spartacus menimpali,"Aku mencintaimu, Antoninus. Seperti aku mencintai anakku ayng belum pernah kulihat wajahnya."
Mereka berdua saling berpelukan dalam persahabatan. Kematian tiada artinya bagi keterbelengguan, sehingga tiada kata takut untuk mati. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam memberikan pertanda datangnya hari akhir ketika mewabahnya penyakit 'wahn' yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati. Dan hari itu, Antoninus meraih kebebasan dengan kematian di tangan sahabatnya sendiri. Spartacus dan tawanan lainnya pun melewati tahapan yang sama menuju kematian dengan disalib dan dipancangkan di sepanjang jalan keluar kota Roma. Pemimpin pemberontakan para budak itu mati di tiang salib, namun doanya yang diucapkan setiap malam menjelang kematiannya agar anaknya lahir sebagai orang merdeka dikabulkan Yang Maha Kuasa. Dan di hari kematiannya, seorang Senator lawan politik Crassus di Romawi mengeluarkan surat pembebasan bagi Varinia dan bayinya. Ya, orok Spartacus memanen perjuangan ayahnya : Kemerdekaan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar