Seorang mahapatih yang terkenal mempersatukan nusantara adalah Gajahmada. Seorang anak manusia yang lahir di bumi nusantara, dan pandangannya sangat visioner. Demikian pula banyak yang mencibirnya ketika cita-cita mulianya itu diwujudkan dalam bentuk ikrar Sumpah Palapa. Mahapatih muda yang berani dan punya tekad baja untuk tidak akan mengenyam kenikmatan duniawi (makan buah palapa) sebelum nusantara dapat disatukan di bawah satu panji Merah Putih. Kemauan keras pemuda Gajahmada ini dapat direalisasikan walaupun juga tentu banyak kendalanya. Upaya itu tentu ada positi dan negatifnya, bahkan memakan banyak korban ketika melakukan aneksasi dan atau agresi militer.
Berbeda dengan mahapatih muda Gajahmada, ada lagi mahapatih muda bernama Sengkuni dalam dunia pewayangan. Jabatannya ini dia peroleh melalui suatu tindakan licik dengan menyingkirkan mahapatih Gandamana pada zaman Prabu Pandhu Dewanata ayah Pandhawa di Kerajaan Hastina. Jabatannya ini berlanjut ketika Pandhu meninggal digantikan oleh kakaknya yang buta bernama Drestarastra ayah Kurawa, suami Dewi Gendari kakak Sengkuni. Sampai tibalah, keturunan mereka dewasa yaitu para Kurawa dan Pandhawa. Istana dengan provokasi Sengkuni dikuasai oleh Kurawa, dan Pandhawa gagal untuk merebut haknya.
Mahapatih muda ini terkenal licin dalam berpolitik, diapun membisiki Duryudana untuk menantang Puntadewa bermain dadu. Sebuah permainan yang sangat digemari Puntadewa sulung Pandhawa. Tantangan pun diterima karena malu ketika nanti dikatakan penakut. Sok gengsi inilah menjadi awal malapetaka keluarga. Meskipun kaum kerabat mengingatkan bahaya kelicikan Sengkuni, dia tetap maju tandang di medan judi. Akibatnya, Drupadi istrinya pun menjadi korban dijadikan pelayan Kurawa. Pandhawa terbuang ke hutan mengembara belasan tahun dalam penyamaran yang tidak boleh diketahui oleh rakyatnya. Dan tentu saja diharamkan menginjak kembali tanah Hastina.
Secara mahir Sengkuni berhasil mengimplementasikan politik kotor dengan cara yang sangat tinggi. Bahkan karena tingginya, orang-orang tak bisa benar-benar yakin atas kekotoran peran Arya Sengkuni. jagad pewayangan sering menjadikan Durnalah yang lebih menonjol sebagai biang kehancuran keluarga Pandhawa. Durnalah yang dianggap sebagai wasilah bentrokan antara Pandhawa dengan Kurawa yang satu puak besar keturunan Bharata. Padahal justru Sengkunilah yang membuat Durna bersikap demikian. Durna guru besar Hastina, merupakan guru yang bertanggungjawab terhadap anak didiknya sehingga lahirlah Arjuna Sang Pemanah Pencari Cinta. Durnalah yang menjadi asbab bertemunya Bhimasena dengan Dewaruci nuraninya sendiri.
Berkat provokasi Sengkuni, kita tahu bagaimana kakak Kresna (titisan Wisnu sang pemelihara alam) yang bernama Baladewa yang berwatak brangasan terlibat katasropi 'kehidupan' seluruh wayang. Baladewa yang emosional sering terlibat pembelaan terhadap Kurawa daripada Pandhawa, termasuk ketika Duryudana yang berhasil dikalahkan Bhimasena dalam perang gada. Padahal kenetralannya sangat dibutuhkan kedua muridnya tersebut. Apalagi Kresna dan Baladewa adalah sepupu Dewi Kunti ibunda Puntadewa, Bhimasena dan Arjuna. Demikian pula Sengkuni telah berhasil dalam memprovokasi Prabu Salya dengan menjerumuskan menjadi Panglima Perang di pihak Kurawa. Salya adalah mertua Baladewa dan Duryudana, sekaligus pamanda Nakula dan Sadewa karena kakak Dewi Madrim ibunda mereka berdua. Tentu, paman melawan keponakan tercintanya sendiri yang seharusnya mampu bertindak sebagai pihak yang netral.
Belum lagi dengan tindakan liciknya memanfaatkan rasa nasionalis yang dimiliki Adipati Karna untuk melawan adiknya sendiri, Resi Bisma dari Talkandha melawan cucunya sendiri, dan Begawan Krepa melawan siswa-siswanya sendiri. dan, Durna menjadi kambing hitam punahnya 'marga' Bharata mungkin paralel dengan apa yang terjadi di negeri ini. Mudah sekali manusia Indonesia terprovokasi, menjadi teroris yang bercita-cita bertemu 72 bidadari surga namun dengan cara haram melakukan bom bunuh diri. Membenci pemeluk agama lainnya tanpa mau memupuk dirinya dengan ilmu agamanya sendiri secara benar. Seperti yang terjadi di Ambon atau Maluku dan Poso. Membenci etnis lainnya seperti yang terjadi di Aceh dan Papua yang mengganggap etnis Jawa telah menjajahnya. Disintregrasi telah terjadi dengan mulai lepasnya Timor Lorosae menjadi negara baru Timor Leste.
Maka ketika semua orang sibuk menunjuk-nunjuk Pendita Durna, sibuk mencibir nasionalisme Karna, dan Resi Bisma, sibuk mengejek emosionalitasnya Baladewa, sibuk menggunjing ketidaktegasan Salya dan kebrahmanaan Krepa yang tidak netral, diam-diam para Sengkuni itu tersenyum menikmati proses kehancuran yang sedang meruyak di papua dan Indoensia pada umumnya. Kecerobohan masyarakat yang terlanjur mencap pihak tertentu itu justru membatasi kewaspadaan nalar untuk mencermati gerakan para Sengkuni yang memang cerdas beralih rupa dan mengganti identitas.
Atau barangkali tanpa kita sadari sering ngudarasa, wadul alias berkeluh kesah masalah ini pada para Sengkuni realis yang kita anggap maharesi dan mahapatih bijak yang bisa menuntaskan persoalan. Waspada haruslah dilakukan dengan memulai diri kita sendiri memberikan keputusan besar untuk bangsa ini, menjadi pemuda mahapatih Gajahmada yang mempersatukan nusantara atau pemuda mahapatih Sengkuni yang memporakporandakan negeri Hastina. Menjadi pemuda yang mau berkarya atau ongkang-ongkang kaki tanpa upaya. Menjadi pemuda berprinsip dan pemimpi pewujud cita-cita atau hanya pengkhayal belaka yang mudah terprovokasi karena tanpa bekal keilmuan. Para pemuda ditahun 1928 jauh sebelum merdeka telah memilih : merajut serpihan nusantara itu menjadi ikrar Sumpah Pemuda, satu tumpah darah tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia!
Berbeda dengan mahapatih muda Gajahmada, ada lagi mahapatih muda bernama Sengkuni dalam dunia pewayangan. Jabatannya ini dia peroleh melalui suatu tindakan licik dengan menyingkirkan mahapatih Gandamana pada zaman Prabu Pandhu Dewanata ayah Pandhawa di Kerajaan Hastina. Jabatannya ini berlanjut ketika Pandhu meninggal digantikan oleh kakaknya yang buta bernama Drestarastra ayah Kurawa, suami Dewi Gendari kakak Sengkuni. Sampai tibalah, keturunan mereka dewasa yaitu para Kurawa dan Pandhawa. Istana dengan provokasi Sengkuni dikuasai oleh Kurawa, dan Pandhawa gagal untuk merebut haknya.
Mahapatih muda ini terkenal licin dalam berpolitik, diapun membisiki Duryudana untuk menantang Puntadewa bermain dadu. Sebuah permainan yang sangat digemari Puntadewa sulung Pandhawa. Tantangan pun diterima karena malu ketika nanti dikatakan penakut. Sok gengsi inilah menjadi awal malapetaka keluarga. Meskipun kaum kerabat mengingatkan bahaya kelicikan Sengkuni, dia tetap maju tandang di medan judi. Akibatnya, Drupadi istrinya pun menjadi korban dijadikan pelayan Kurawa. Pandhawa terbuang ke hutan mengembara belasan tahun dalam penyamaran yang tidak boleh diketahui oleh rakyatnya. Dan tentu saja diharamkan menginjak kembali tanah Hastina.
Secara mahir Sengkuni berhasil mengimplementasikan politik kotor dengan cara yang sangat tinggi. Bahkan karena tingginya, orang-orang tak bisa benar-benar yakin atas kekotoran peran Arya Sengkuni. jagad pewayangan sering menjadikan Durnalah yang lebih menonjol sebagai biang kehancuran keluarga Pandhawa. Durnalah yang dianggap sebagai wasilah bentrokan antara Pandhawa dengan Kurawa yang satu puak besar keturunan Bharata. Padahal justru Sengkunilah yang membuat Durna bersikap demikian. Durna guru besar Hastina, merupakan guru yang bertanggungjawab terhadap anak didiknya sehingga lahirlah Arjuna Sang Pemanah Pencari Cinta. Durnalah yang menjadi asbab bertemunya Bhimasena dengan Dewaruci nuraninya sendiri.
Berkat provokasi Sengkuni, kita tahu bagaimana kakak Kresna (titisan Wisnu sang pemelihara alam) yang bernama Baladewa yang berwatak brangasan terlibat katasropi 'kehidupan' seluruh wayang. Baladewa yang emosional sering terlibat pembelaan terhadap Kurawa daripada Pandhawa, termasuk ketika Duryudana yang berhasil dikalahkan Bhimasena dalam perang gada. Padahal kenetralannya sangat dibutuhkan kedua muridnya tersebut. Apalagi Kresna dan Baladewa adalah sepupu Dewi Kunti ibunda Puntadewa, Bhimasena dan Arjuna. Demikian pula Sengkuni telah berhasil dalam memprovokasi Prabu Salya dengan menjerumuskan menjadi Panglima Perang di pihak Kurawa. Salya adalah mertua Baladewa dan Duryudana, sekaligus pamanda Nakula dan Sadewa karena kakak Dewi Madrim ibunda mereka berdua. Tentu, paman melawan keponakan tercintanya sendiri yang seharusnya mampu bertindak sebagai pihak yang netral.
Belum lagi dengan tindakan liciknya memanfaatkan rasa nasionalis yang dimiliki Adipati Karna untuk melawan adiknya sendiri, Resi Bisma dari Talkandha melawan cucunya sendiri, dan Begawan Krepa melawan siswa-siswanya sendiri. dan, Durna menjadi kambing hitam punahnya 'marga' Bharata mungkin paralel dengan apa yang terjadi di negeri ini. Mudah sekali manusia Indonesia terprovokasi, menjadi teroris yang bercita-cita bertemu 72 bidadari surga namun dengan cara haram melakukan bom bunuh diri. Membenci pemeluk agama lainnya tanpa mau memupuk dirinya dengan ilmu agamanya sendiri secara benar. Seperti yang terjadi di Ambon atau Maluku dan Poso. Membenci etnis lainnya seperti yang terjadi di Aceh dan Papua yang mengganggap etnis Jawa telah menjajahnya. Disintregrasi telah terjadi dengan mulai lepasnya Timor Lorosae menjadi negara baru Timor Leste.
Maka ketika semua orang sibuk menunjuk-nunjuk Pendita Durna, sibuk mencibir nasionalisme Karna, dan Resi Bisma, sibuk mengejek emosionalitasnya Baladewa, sibuk menggunjing ketidaktegasan Salya dan kebrahmanaan Krepa yang tidak netral, diam-diam para Sengkuni itu tersenyum menikmati proses kehancuran yang sedang meruyak di papua dan Indoensia pada umumnya. Kecerobohan masyarakat yang terlanjur mencap pihak tertentu itu justru membatasi kewaspadaan nalar untuk mencermati gerakan para Sengkuni yang memang cerdas beralih rupa dan mengganti identitas.
Atau barangkali tanpa kita sadari sering ngudarasa, wadul alias berkeluh kesah masalah ini pada para Sengkuni realis yang kita anggap maharesi dan mahapatih bijak yang bisa menuntaskan persoalan. Waspada haruslah dilakukan dengan memulai diri kita sendiri memberikan keputusan besar untuk bangsa ini, menjadi pemuda mahapatih Gajahmada yang mempersatukan nusantara atau pemuda mahapatih Sengkuni yang memporakporandakan negeri Hastina. Menjadi pemuda yang mau berkarya atau ongkang-ongkang kaki tanpa upaya. Menjadi pemuda berprinsip dan pemimpi pewujud cita-cita atau hanya pengkhayal belaka yang mudah terprovokasi karena tanpa bekal keilmuan. Para pemuda ditahun 1928 jauh sebelum merdeka telah memilih : merajut serpihan nusantara itu menjadi ikrar Sumpah Pemuda, satu tumpah darah tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar