Dalam hidup ini, setiap insan di dalam perjalanan seringnya hanya melihat sekelilingnya. Wadhuh, alangkah hijaunya rumput tetangga. Waah, dia bisanya hanya sebatas itu, jauhlah dengan diri saya. Weee, itu barang milik teman sekerja bagus amat, amat saja nggak bagus!. dan berbagai komentar selalu diucapkan, tanpa mau bercermin, siapakah dirinya. Sejauh mana segala retorika pidatonya dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak diantara kita yang malas untuk 'ndelok githoke dhewe' alias introspeksi dan kejujuran pada diri sendiri. Berbanyak-banyak waktu untuk merenungkan diri kita, kiprah kita, berkaca menghitung diri, latihan ngudoroso... Senyampang belum terlambat kesadaran bermuhasabah!
Saya teringat suatu kisah, Umar bin Abdul Aziz (Khalifah pada masa Bani Umayyah) sedang menangis kemudian didatangi seseorang. Kemudian orang itu bertanya dengan hati-hati,"Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur. Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi?” Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wata'ala. Ia pergi untuk selama-lamanya.
Saya teringat suatu kisah, Umar bin Abdul Aziz (Khalifah pada masa Bani Umayyah) sedang menangis kemudian didatangi seseorang. Kemudian orang itu bertanya dengan hati-hati,"Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur. Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi?” Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wata'ala. Ia pergi untuk selama-lamanya.
Amirul Mukminin yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah ’orang-orang risau. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir. Bahkan sebagian mereka mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya, terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang dipikulnya. Paradigma orang yang menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis, karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat. Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.
Namun Umar bin Abdul Aziz tetap sadar untuk menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan. Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya merunduk dan merendah. Kerisauan seorang Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya ia bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.
Karena rasa risau adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya, lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri, tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau. Demikian pula kerisauan Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam terhadap ummatnya ketika menjelang ajal menjemput. Hanya ummat yang selalu beliau risaukan. Hanyalah ummat yang selalu diperhatikan, kesadaran untuk mawas diri sekelas Rasulullah itu begitu tinggi akan tanggungjawab yang diembannya sebagai pemimpin ummat akhir zaman. Dan disitulah letak kemuliaannya di atas seluruh ummat manusia.
Dan kisah berikut juga menjadi ibrah bagi kita, tentang kesadaran yang terlambat. Ketika lilin di kamar Louis XV padam menandakan Kaisar Perancis itu mati oleh gempuran dahsyat penyakit cacar sehingga mukanya menghitam dan mengeluarkan bau busuk. Naik tahta cucunya dengan gelar Louis XVI yang didampingi Maria Antoinette, permaisuri jelita bak malaikat pembawa cahaya baginya. Puluhan ribu rakyat Perancis mengelu-elukan mereka berdua ketika pemunculannya di balkon istana untuk pertama kali, mungkin seperti Pangeran William dan Kate kemaren di Inggris. Ya, rakyat jatuh hati pada pada permaisuri nan cantik dan muda penuh cinta. Antoinette segera menulis surat kepada ibundanya,"Rakyat menyamutku ibu, aku tak akan melupakan itu!".
Tapi Antoinette begitu cepat lupa, ketika sambutan terlampu sering karena rutinitas membuatnya tak peka dan tak lagi terharu. Putri bungsu Maria Theresa ratu Austria ini merasa perlakuan dirinya itu sudah sewajarnya karena ia adalah perempuan strata tertinggi di istana Versailles. "Sekalipun Tuhan telah menakdirkan hal ini, tetapi alangkah menakjubkan, bahwa anak ibu kini terpilih sebagai ratu sebuah kerajaan terindah di Eropa," tulisnya dalam surat kepada ibundanya. Aapa jawaban sang ibu dengan kurir bernama Mercy,"Saya rasa zaman gemilang buat Antoinette sudah lewat." Ibunda merasa kematian Louis XV terlampau cepat, sehingga dianggapnya sebuah beban berat mahkota yang nangkring di kepala anak dan menantunya yang masih belia.
Si ibu sangat mengenal anaknya yang cantik, lincah dan tidak terlalu suka berpikir. Putrinya ini menikah terlalu muda hanya karena untuk kepentingan politik waktu itu. Yaitu Austria ingin mengakhiri ketegangannya dengan Perancis, sekaligus mencari sekutu dalam menghadapi Prusia (sekarang Jerman). Dan terbukti, Antoinette yang muda dan badung memberontak terhadap kekakuan etiquette istana Versailles. Tiga putri Louis XV alias para iparnya memanfaatkan kebadungannya untuk membenci Madame Dubarry, seorang selir Louis XV yang ingin menggenggam istana setelah wafatnya permaisuri. Dan Dubarry bukanlah lawan sepadan bagi Antoinette. madame ini langsung terdepak setelah Louis XV meninggal, apalagi suaminya menggantikan sang kakek menjadi raja muda baru.
Raja muda yang peragu, gugup, lemah dan tak pandai bicara ini mempunyai kekurangan yang sudah bukan rahasia lagi waktu itu, yaitu dalam tujuh tahun perkawinannya, ia gagal diranjang. Kemandulan raja segera menjadi isu politik di daratan Eropa. Intrik di istana semakin menggila, dan Louis XVI menjadi seorang penyendiri dan tidak berani menatap wajah orang lain. Maka Antoinette mengatasi kebekuan ranjangnya dengan menjadi 'Madame Defisit' karena menggunakan anggaran kerajaan untuk pesta pora, berfoya-foya dimeja perjudian. "Buat aku tidak menjadi soal jika engkau dikawani suamimu, engkau selalu mengembara seorang diri," tulis ibunya di Austria yang galau dengan kegelapan masa depan anaknya. "Ibu, apakah aku harus mati karena rasa jemu?" balasnya.
Anda wahai pembaca, jangan coba-coba punya niatan untuk menemaninya, waspadalah! Rumput sendiri lebih hijau lho dari pada punya tetangga. Hehehe....Waktu berlalu, Antoinette menapaki anak tangga kejatuhannya. Kegemarannya berpesta makin mengobarkan manuver-manuver dalam istana dan menyalakan api perlawanan kaum republiken di luar istana. Kas negara devisit untuk biaya pestanya dan rakyatpun kelaparan dimana-mana. Maka dulu waktu mengajar tentang Revolusi Perancis di kelas II SMP saya sampaikan tentang Ratu Bangkrut ini. Ada sedikit harapan setelah tujuh tahun perkawinannya, Raja operasi ringan -bukan lewat Mak Erot- Antoinette merasakan kebahagiaan tak terkira, kebahagiaan seorang istri yang baru saja diperawani. Karena thok cer atau cus plenthung, ia segera hamil anak pertama dan seterusnya sampai empat kali. Nggak usah cerita prosesnya, wong anda lebih berpengalaman dari pada Louis XVI.
Maria Antoinette sangat mencintai anak-anaknya, walau yang hidup hanya dua, karena keguguran dikehamilan kedua dan bayi ke empat meninggal. Sayang, kesadaran atau mawas dirinya terlambat. Ia menjadi orang asing bagi rakyat Perancis. Kaum republiken mencaci maki, saudar raja yang mengincar tahta makin jahat tabiatnya, karena seperti sudah tanpa harapan. Maka di tengah kebencian semua pihak dia menjadi sasaran empuk bagi berbagai fitnah, dan yang terkeji adalah ia dianggap memperkosa dan menyetubuhi anak lelakinya sendiri yang baru berusia 8 tahun. Sebuah konspirasi kelas tinggi dan mengerikan.
Demikian, revolusi dimulai dari dalam istananya sendiri. Setelah revolusi Perancis sukses dengan Liberte, Fraternite, dan Egalite maka peradilan dilakukan untuk Antoinette. Anak lelakinya yang masih kecil dipaksa untuk mengakui kebenaran tuduhan, dan si anak pun akhirnya terpaksa mengakui. Dalam persidangan, Antoinette bersaksi,"Kalau saya tidak menjawabnya, ini karena nurani dan sifat kewanitaan saya menolak untuk menjawab tuduhan keji semacam itu yang ditujukan kepada seorang ibu. Ini juga permohonan saya pada semua ibu yang hadir di sidang ini." Permaisuri yang dicaci maki itu memperoleh simpati, tetapi ia tak sanggup untuk menyelamatkan jiwanya. Riwayat ini berakhir ketika tajamnya pisau guilotin (semacam pemotong kertas foto copy) memisahkan kepala dari tubuhnya. Sang ibu Maria Theresa tak bisa menyaksikan akhir perkawinan politik yang dirancangnya karena sudah lebih dulu mati.
Dan kisah berikut juga menjadi ibrah bagi kita, tentang kesadaran yang terlambat. Ketika lilin di kamar Louis XV padam menandakan Kaisar Perancis itu mati oleh gempuran dahsyat penyakit cacar sehingga mukanya menghitam dan mengeluarkan bau busuk. Naik tahta cucunya dengan gelar Louis XVI yang didampingi Maria Antoinette, permaisuri jelita bak malaikat pembawa cahaya baginya. Puluhan ribu rakyat Perancis mengelu-elukan mereka berdua ketika pemunculannya di balkon istana untuk pertama kali, mungkin seperti Pangeran William dan Kate kemaren di Inggris. Ya, rakyat jatuh hati pada pada permaisuri nan cantik dan muda penuh cinta. Antoinette segera menulis surat kepada ibundanya,"Rakyat menyamutku ibu, aku tak akan melupakan itu!".
Tapi Antoinette begitu cepat lupa, ketika sambutan terlampu sering karena rutinitas membuatnya tak peka dan tak lagi terharu. Putri bungsu Maria Theresa ratu Austria ini merasa perlakuan dirinya itu sudah sewajarnya karena ia adalah perempuan strata tertinggi di istana Versailles. "Sekalipun Tuhan telah menakdirkan hal ini, tetapi alangkah menakjubkan, bahwa anak ibu kini terpilih sebagai ratu sebuah kerajaan terindah di Eropa," tulisnya dalam surat kepada ibundanya. Aapa jawaban sang ibu dengan kurir bernama Mercy,"Saya rasa zaman gemilang buat Antoinette sudah lewat." Ibunda merasa kematian Louis XV terlampau cepat, sehingga dianggapnya sebuah beban berat mahkota yang nangkring di kepala anak dan menantunya yang masih belia.
Si ibu sangat mengenal anaknya yang cantik, lincah dan tidak terlalu suka berpikir. Putrinya ini menikah terlalu muda hanya karena untuk kepentingan politik waktu itu. Yaitu Austria ingin mengakhiri ketegangannya dengan Perancis, sekaligus mencari sekutu dalam menghadapi Prusia (sekarang Jerman). Dan terbukti, Antoinette yang muda dan badung memberontak terhadap kekakuan etiquette istana Versailles. Tiga putri Louis XV alias para iparnya memanfaatkan kebadungannya untuk membenci Madame Dubarry, seorang selir Louis XV yang ingin menggenggam istana setelah wafatnya permaisuri. Dan Dubarry bukanlah lawan sepadan bagi Antoinette. madame ini langsung terdepak setelah Louis XV meninggal, apalagi suaminya menggantikan sang kakek menjadi raja muda baru.
Raja muda yang peragu, gugup, lemah dan tak pandai bicara ini mempunyai kekurangan yang sudah bukan rahasia lagi waktu itu, yaitu dalam tujuh tahun perkawinannya, ia gagal diranjang. Kemandulan raja segera menjadi isu politik di daratan Eropa. Intrik di istana semakin menggila, dan Louis XVI menjadi seorang penyendiri dan tidak berani menatap wajah orang lain. Maka Antoinette mengatasi kebekuan ranjangnya dengan menjadi 'Madame Defisit' karena menggunakan anggaran kerajaan untuk pesta pora, berfoya-foya dimeja perjudian. "Buat aku tidak menjadi soal jika engkau dikawani suamimu, engkau selalu mengembara seorang diri," tulis ibunya di Austria yang galau dengan kegelapan masa depan anaknya. "Ibu, apakah aku harus mati karena rasa jemu?" balasnya.
Anda wahai pembaca, jangan coba-coba punya niatan untuk menemaninya, waspadalah! Rumput sendiri lebih hijau lho dari pada punya tetangga. Hehehe....Waktu berlalu, Antoinette menapaki anak tangga kejatuhannya. Kegemarannya berpesta makin mengobarkan manuver-manuver dalam istana dan menyalakan api perlawanan kaum republiken di luar istana. Kas negara devisit untuk biaya pestanya dan rakyatpun kelaparan dimana-mana. Maka dulu waktu mengajar tentang Revolusi Perancis di kelas II SMP saya sampaikan tentang Ratu Bangkrut ini. Ada sedikit harapan setelah tujuh tahun perkawinannya, Raja operasi ringan -bukan lewat Mak Erot- Antoinette merasakan kebahagiaan tak terkira, kebahagiaan seorang istri yang baru saja diperawani. Karena thok cer atau cus plenthung, ia segera hamil anak pertama dan seterusnya sampai empat kali. Nggak usah cerita prosesnya, wong anda lebih berpengalaman dari pada Louis XVI.
Maria Antoinette sangat mencintai anak-anaknya, walau yang hidup hanya dua, karena keguguran dikehamilan kedua dan bayi ke empat meninggal. Sayang, kesadaran atau mawas dirinya terlambat. Ia menjadi orang asing bagi rakyat Perancis. Kaum republiken mencaci maki, saudar raja yang mengincar tahta makin jahat tabiatnya, karena seperti sudah tanpa harapan. Maka di tengah kebencian semua pihak dia menjadi sasaran empuk bagi berbagai fitnah, dan yang terkeji adalah ia dianggap memperkosa dan menyetubuhi anak lelakinya sendiri yang baru berusia 8 tahun. Sebuah konspirasi kelas tinggi dan mengerikan.
Demikian, revolusi dimulai dari dalam istananya sendiri. Setelah revolusi Perancis sukses dengan Liberte, Fraternite, dan Egalite maka peradilan dilakukan untuk Antoinette. Anak lelakinya yang masih kecil dipaksa untuk mengakui kebenaran tuduhan, dan si anak pun akhirnya terpaksa mengakui. Dalam persidangan, Antoinette bersaksi,"Kalau saya tidak menjawabnya, ini karena nurani dan sifat kewanitaan saya menolak untuk menjawab tuduhan keji semacam itu yang ditujukan kepada seorang ibu. Ini juga permohonan saya pada semua ibu yang hadir di sidang ini." Permaisuri yang dicaci maki itu memperoleh simpati, tetapi ia tak sanggup untuk menyelamatkan jiwanya. Riwayat ini berakhir ketika tajamnya pisau guilotin (semacam pemotong kertas foto copy) memisahkan kepala dari tubuhnya. Sang ibu Maria Theresa tak bisa menyaksikan akhir perkawinan politik yang dirancangnya karena sudah lebih dulu mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar