Selamat datang....

Semoga setelah membaca perasaan anda menjadi PLONG!

Rabu, 26 Oktober 2011

Rekonsiliasi

Bulan Oktober.....
Di awal bulan ini, tepatnya tanggal satu sering diperingati sebagi Hari Kesaktian Pancasila. Walaupun masih banyak perdebatan, saya tidak akan mengulasnya karena semakin menambah polemik panjang bangsa. Peristiwa pembantaian petinggi Angkatan Darat banyak sekali penafsiran. Bahkan dari tokoh-tokoh yang mengaku sebagai seorang sejarawan sekalipun, tidak ada satu kata. Itu sudah wajar!

Orba menyebutnya Gerakan 30 September (disingkat G30S) bahkan diberi garis miring PKI. Melengkapi pemberontakan PKI 1926 dan Affair Madiun 1948 yang juga masih kontroversial apakah itu mengatasnamakan PKI sebagi sebuah institusi partai politik atau perorangan. Soekarno lebih suka menyebutnya Gerakan Satu Okober (disingkat Gestok) tanpa garis miring PKI.

Pancasila disakralkan sebagai perlambang kesaktian. Dan sekarang masih dianggap sebagai ideologi negara. Negara bukan agama, dan negara bukan sekuler, istilah Didin Hafidhuddin ini negara bukan-bukan. Namun inilah negara saya, yang sangat saya cintai. Pancasila sebagai sebuah kesepakatan konstitusi tertinggi setelah kemerdekaan 17-08-1945 dimaknai dengan memanivestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesaktiannya adalah di jiwa dan nurani serta tindakan empiris warga negara Indonesia. Anak bangsa yang mendahulukan Ketuhanan Yang Maha Esa (Al Ahad), yaitu ketauhidan Tuhan dalam memanusiakan manusia agar lebih beradab, mempersatukan semua kebhinnekaan dengan tujuan kesejahteraan dan keadilan rakyat melalui permusyawaratan dan atau kemufakatan.

Menyikapi tragedi yang berhubungan dengan Pancasila tersebut, ada dua pihak yang saling merasa dirugikan. Yaitu anggota PKI dan underboownya di satu pihak, dan kaum muslimin serta nasionalis di pihak lainnya. Mantan Sekjen Gerwani, Sulami pernah membuat pernyataan bahwa pemunuhan aktifis dan simpatisan PKI melibatkan ormas NU khususnya GP Anshor melalui Banser. Demikian pula, KH Yusuf Hasyim bin Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ariy merasa mantan tokoh PKI memelintir realita di lapangan saat itu.

Diakui atau tidak bahwa korban tragedi 1965 adalah PKI dan antek-anteknya. Namun tidak sedikit rakyat yang tak tahu apa-apa, mereka menjadi korban fitnah dengan tuduhan cap PKI. Mereka adalah orang-orang kecil, rakyat jelata yang kadang karena ekspresi untuk menunjukkan rasa tidak puas tehadap keadaan di anggap mengganggu stabilitas wilayahnya, bahkan karena dendam pribadi di bantai dengan keluarga besarnya dengan sadis. Tanpa melalui sidang pengadilan. Tanpa melalui pembelaan.

Tragedi yang diakui atau tidak memang melibatkan sebagian anggota dan simpatisan PKI baik yang berada di jajaran TNI AD dan sipil. Sehingga sebagai sebuah organisasi memang selayaknya hidup di negara demokratis ini mempertanggungjawabkan konstituennya. Pemerintah ora dengan Soeharto sebagai pahlawannya juga layak dimintai pertanggungjawaban atas tindakan sewenang-wenangnya tanpa menghormati Indonesia sebagai negara hukum yang menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum negara tertinggi.

Kontroversi ini isa dilihat secara jernih. PKI dan ormas pendukungnya mesti instropeksi, melakukan kritik autokritik. Peristiwa Pra Tragedi 1965 (saya lebih enak menyebutnya demikian), seperti di Jember dapat disaksikan sendiri arogansi Pemuda Rakyat terhadap masyarakat NU. Kemudian juga di Muncar Banyuwangi, ratusan warga NU yang baru pulang dari pengajian ketika sedang naik truck dihadang dan dianiaya Pemuda Rakyat. Peristiwa berdarah seperti ini jelas mempengaruhi aktifitas masyarakat ketika menunaikan kewajibannya beragama di negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia yang merupakan organisasi mantel PKI (demikian adanya dilapangan!) memaksa kehendak dengan mematoki tanah wakaf absente dan tanah milik warga NU di Tanggul Jember dengan dalih penerapan UU Pokok Agraria dan UU Bagi Hasil. Aksi sepihak ini juga menewaskan beberapa tokoh NU setelah diculik dan dipaksa menyerahkan tanahnya, mereka dianggap setan desa, Akhirnya anarki ini memicu bentrokan fisik. Militer waktu itu tak berdaya menjaga keselamatan dan ketertiban serta keamanan negara khususnya menghadapi aksi brutal simpatisan PKI. Maka tak heran KH Yusuf Hasyim membentuk Barisan Serba Guna (Banser) GP Anshor.

Tentunya, beliau sangat memahami bahwa membunuh orang lain termasuk komunis adalah tidak benar tanpa ada alasan yang jelas karena sebagai umat beragama yang menjunjung tinggi norma agama, norma hukum dan HAM. Mereka tahu yang berhak untuk mencabut nyawa adalah pemilik makhluk yaitu Allah Ta'ala, baik secara langsung ataupun melalui tangan para penguasa yang menjadi bayang-bayang Tuhan di bumi. Yang terakhir inipun harus melalui proses hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka, kalau kemudian terjadi saling bunuh antara Banser dan PKI, itu lebih disebabkan kondisi masyarakat yang anarkis. Situasinya seperti perang yang sangat sulit membedakan mana kawan dan lawan. Apalagi agitasi dan provokasi terus berlangsung, dan dalam upaya pembelaan diri maka jatuhnya korban jiwa dalam skala masif sulit dihindari.

Konflik yang sebenarnya hanya vertikal di tingkat elit, tampaknya sengaja digunakan pihak tertentu (bisa dalam negeri dan luar negeri) untuk membenturkan tingkat akar rumput. Konflik meluas menjadi konflik horizontal di tingkat massa dengan memanfaatkan psikologis masyarakat orde lama dibawah garis kemiskinan, diadu terus dan dibakar emosinya melalui agitasi dan provokasi. Nah yang tepuk tangan dan menikmati hasilnya justru puhak lain yang kemudian menjadi penguasa di era orde baru. Sedang umat Islam dan PKI menjadi babak belur. PKI ditumpas sebagai partai terlarang dan ajaran terlarang serta dijadikan stigma. Komunisme dianggap bahaya laten kiri. Sedangkan umat Islam dipinggirkan perannya dari pentas perpolitikan serta kekuasaan negeri ini. Diancam dan di anggap sebagai bahaya laten kanan.

Herannya sekarang di era reformasi, mengapa seolah-olah yang menjadi korban hanya PKI dan ormas-ormas pendukungnya. Inilah yang selalu diangkat kepermukaan oleh pembela dan pejuang HAM. Sementara ratusan dan bahkan ribuan nyawa umat Islam masa orla yang dibantai PKI, korban jiwa masa orde baru dalam sekian tragedi berdarah seperti di Priok, Peristiwa Maluku dan Poso, DOM di Aceh kurang mendapat perhatian umum. Adilkah?

Sehingga upaya rekonsiliasi antara umat Islam, keturunan petinggi dan simpatisan PKI serta militer dapat duduk bersama-sama dengan dasar i'tikad baik menghapuskan luka lama guna mewujudkan rekonsiliasi nasional. Bukannya justru untuk mencari peluang balas dendam yang justru akan mencabik keutuhan bangsa yang kini terancam disintegrasi, seperti di Papua. Terlebih untuk meluruskan perjalanan sejarah yang bengkok. Tengara banyak pihak tentang manipulasi sejarah rezim Soeharto, boleh jadi ada benarnya. raibnya Supersemar pun masih menajdi sebuah kecelakaan besar bangsa ini. Pelurusan ini penting agar generasi penerus bisa belajar tak mengulangi pengalaman pahit di masa silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar