Awal mula membuat blog ini, terinspirasi tentang kegalauan yang melanda negeri tercinta. Kegalauan rakyatnya dan pemimpinnya. Kegalauan ulama' dan umatnya. Kegalauan saya sendiri. Saya merindukan rasa plong, dan sore sebelum sholat Maghrib, ada sesuatu yang membuatku berkata : Plong! setelah menyelesaikan buang hajat, ya alhamdulillah.....
Saya yakin anda akan terasa lain ketika sedang ada problematika yang cukup ruwet kemudian menemukan solusi yang tepat, begitulah rasanya : Plong! Anda dapat meluapkan rasa itu dengan tertawa, menangis atau cukup dengan tersenyum, namun muaranya tetap : Plong! Sehingga saya kemudian memberikan judul blog saya dengan nama : Plong !
Rumah saya berada di pinggir Jalan Raya Pos Anyer Panarukan alias jalan yang dibuat nenek kakek kita zaman Daendels, tepatnya Jalan Untung Suropati (sekarang menjadi Jalan Gajag Mada) No.69 Rembang. Hampir setiap menit ada kendaraan melintas, sehingga pada suatu ketika ada serombongan keluarga dalam satu kendaraan berhenti di depan rumah saya karena mobilnya mogok. Almarhumah ibu saya, kemudian mempersilakan mereka mampir dan beristirahat. Apalagi waktu itu malam hari, tentunya sambil menunggu mobil diperbaiki mereka butuh tempat sekedar untuk leyeh-leyeh. Walaupun rumah kami sederhana, ibu tidak segan dengan keramahannya yang tidak dibuat-buat menjamu makan malam. Dan itu adalah menanak beras terakhir yang dimilikinya.
Sudah dari dulu ibu setiap punya sesuatu makanan, baik itu sayur dan makanan lain atau bahkan oblok-oblok (sayur sisa kenduri yang diangetin) jika berlebih diberikan kepada para tetangga khususnya yang lebih kurang dari kami. Buah mangga atau semacamnya juga dibagikan kepada tetangga kanan kiri tanpa memandang status sosial, bahkan mayoritas mereka lebih mapan. Padahal mereka para tetangga tahu, ibu adalah janda beranak banyak yang hidup di rumah sederhana. Memasak nasi bahkan dibuat hampir seperti bubur, agar semua anak dapat merata. Memasaknya pun menggunakan kayu bakar.
Melihat kondisi sekarang yang didominasi kaidah dan moral ekonomi, sikap ibu saya mungkin dirasakan terlalu naif. Selagi semua orang berkata kalau jasa dibalas dengan balas jasa, prestasi dibalas dengan kontraprestasi, dan sedikit kerugian harus dibalas dengan kompensasi, lalu apakah makna tindakan ibu saya. Apabila sebagian besar orang memanjakan diri dengan mencukupi keinginannya, mengapa masih ada orang miskin merelakan beras terakhir demi para musafir yang tak dikenal dari golongan bermobil? Dia hanya membuat orang lain yang memiliki mobil kenyang, sedang dirinya dan anak-anaknya yang miskin malah lapar. Ironis.
Pengorbanan adalah salah satu tema dasar ajaran-ajaran kenabian. Anda mesti ingat, ketika Adam diciptakan dan diturunkan ke bumi bersama Hawa. Kedua anaknya telah Allah ta'ala perintahkan untuk berkorban, dan yang diambil atau diterimaNya adalah qurban yang paling ikhlas. Umat Buddha percaya, bahwa Siddarta Gautama adalah seorang penderma sejati. Sang gautama mengorbankan kehidupan mewah di istana untuk menjadi guru yang hidup sangat bersahaja demi melepaskan umat dari samsara. Umat Kristen percaya, Yesus mengorbankan seluruh hidupnya untuk kebahagian dan keselamatan manusia.
Demikian pula yang dilakukan oleh Ibrahim dan putranya Ismail, umat Islam menunaikan ibadah haji dan berqurban di Hari Raya Idhul Adha. Ibadah tersebut adalah ritus yang menyimbolkan jiwa pengorbanan. Dengan kata lain, pengorbanan atau kedermawanan adalah rukun yang harus dipenuhi oleh yang mengaku Muslim. Jelasnya, tak layak seseorang mengaku Muslim apabila dia belum mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang dermawan. Allah Ta'ala juga memerintahkan untuk berlaku dermawan dalam keadaan lapang dan sempit, dan Rasulullah Muhammad sholallahu 'alaihi wassalam juga mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari....
Alangkah banyak orang memiliki banyak beras, cukup beradab dan mereka cukup informasi tentang ajaran perilaku-perilaku kenabian, tak sanggup berbagi. Mereka masih belum memiliki kekayaan jiwa. Dan mungkin ada pertanyaan," Apakah yang diperoleh ibu saya dari kedermawanannya? " Dia tetap atau bahkan lebih miskin, bukan? Dari pandangan biasa mungkin, ya. Namun ada gejala yang membuktikan akan ketidak sia-siaan kedermawanannya. Terbukti, beliau masih bisa tersenyum, mata beliau selalu bercahaya dan hidup tenang tentram bergembira. Bahkan diakhir hayatnya, beliau sempat mendaftar menjadi jamaah haji Indonesia. Dimakamkan dengan iringan jamah pengajian yang dibimbingnya selama ini, dengan biaya pemakaman sendiri tanpa hutang pada siapapun. Dan kami putra-putrinya masih merasakan rasa kasih beliau sampai kini.
Garis-garis kegembiraan saat pulang kerahmatullah setelah sakit dua setengah bulan, seolah-olah bisa dibaca sebagai rasa optimisme hidup, sebagaimana telah dijanjikan Tuhan bagi mereka yang tulus dan berserah diri. Dan aneh, banyak orang yang sedang menanggung stress karena takut kehilangan apa-apa yang dimilikinya di dunia. Sebuah pepatah Tiongkok mengatakan," Siapa yang memiliki berati kehilangan." Kalau kita semua sepakat, bahwa ketika gemar memberi maka rasanya : Plong !
Rembang, 10 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar