Selamat datang....

Semoga setelah membaca perasaan anda menjadi PLONG!

Minggu, 06 November 2011

Kambing Hitam

Kita tahu bahwa tanggal 7 November 1917 penanggalan Gregorian terjadi sebuah revolusi di Rusia yang dilakukan oleh kaum buruh sosialis pimpinan Lenin. Walaupun pada waktu itu yang berlaku adalah kalender Julian yang bertepatan dengan tanggal 25 Oktober 1917, maka sering juga disebut Revolusi Oktober. Setelah mereka kaum komunisme (gabungan marxisme dengan leninisme) berhasil menguasai Petrograd sebagai ibukota Rusia, dilanjutkan dengan dikalahkannya pemerintahan nasionalis pimpinan Alexander Kerensky, sejak runtuhnya Kekaisaran Romanov dengan raja terakhir Tsar Nicolas II turun tahta secara legal pada 15 Maret dan transfer kekuasaan legal diberikan dengan proklamasi yang ditandatangani Adipati Agung Michael. Revolusi selalu disebabkan ketidakpuasan rakyat terhadap pelayanan para pemimpinnya terhadap urusan mereka.

Namun dibalik itu semua, para sejarawan melihat ada kambing hitam yang menjadi korban. Kebetulan esok hari adalah hari raya besar kaum muslimin Idul Qurban, yang juga penyembelihan 'kambing hitam' setelah sholat Idhul Adha. Kambing hitam di Rusia itu adalah Grigory Yefimovich Rasputin. Seorang lelaki miskin yang dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1969 di Tobolsk, sebuah desa yang jauh dari ibukota kerajaan. Dia terlunta-lunta di hamparan salju yang membekukan, teraniaya oleh perlakuan masyarakat. Kemudian ketika dewasa dia belajar tentang berbagai macam hal sehingga menjadi dirinya sendiri. Dengan keyakinan kuatnya dia mendeklarasikan diri menjadi utusan Tuhan bagi Rusia. "Aku adalah Rusia. Kebahagiaanku adalah kebahagiaan Rusia. Dan percik darahku adalah percik darah Rusia," teriak lantangnya pada diri dan orang-orang di sana.

Rasputin sering disebut biarawan sinting walaupun bukan seorang biarawan. Orang-orang menimpuk tubuh kurusnya dengan bebatuan karena menganggapnya gila dengan praktek ilmu sihirnya. Dan dia berhasil membawa sihir ke istana. Masa lalu yang laknat membawanya menjadi orang suci di istana Tsar Nicolas II di Petersburg. Ketika itu Tsarevich Alexei, putra mahkota Rusia terpeleset di kamar mandi dan darah tak berhenti mengucur dari lukanya karena menderita hemofilia. Tatkala Rusia sedang mempersiapkan sebuah monarchi konstitusional setelah manifesto Oktober. Tsar Rusia menunjuk Peter Stolypin, intelektual yang menjadi harapan Rusia sebagai Perdana Menteri. Rusia menunjukkan perkembangan positif di bidang industri dan pertanian dengan kepemimpinan pemerintahnya. Sehingga bagi Tsarina Alexandra, Stolypin dianggap sebagai klilip, iblis yang akan merebut mahkota suaminya kelak.

Di bulan Oktober 1912 itulah Rasputin yang selama ini terlunta-lunta, datang pada momentum yang tepat. Berhasil menghentikan darah Tsarevich Alexei yang sedari jatuh tanpa henti mengucur. Padahal Tsarina Alexandra sepuluh hari tak tidur mendampingi putra mahkota tercintanya. Dan tiada satu dokter pun yang sanggup menangani waktu itu. "Jangan sedih Ratu, Tuhan melihat air mata seorang ibu,. Pangeran kecil tak akan mati!" ucap Rasputin. Dia kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Alexei, dan tiba-tiba wajah pucat pasi putra mahkota berangsur-angsur memerah kembali, darah mampet dari lukanya. Sejak itu, Rasputin begitu dekat dengan Tsarina yang menganggapnya utusan suci Tuhan dengan mukjizat yang diperlihatkan ketika mengobati putranya.

Kelakuan sang gembel bagaikan 'kere munggah bale' di istana Tsar Rusia yang mewah. Ia menikmati istana yang hangat dengan pesta anggur dan menggagahi para perempuan yang rela disetubuhi dalam sebuah orgi, layaknya dukun cabul yang mengatakan,"Akulah utusan Tuhan!".Keadaan semakin menggila di istana, tatkala sang kaisar Nicolas II memimpin Rusia melawan Jerman pada Perang Dunia I. Tsarina Alexandra merasa terpojok dan terasing, karena semua mata dalam istana menatapnya laksana musuh. Kebetulan dia adalah wanita yang berasal dari Jerman, negeri musuh besar suaminya kini. Maka hanya kepada Rasputinlah ia 'bersandar diri'. Rasputin dengan 'kekuatan ilahiahnya' semakin besar kekuasaannya.

Para penghuni istana semakin tidak tahan dengan polah tingkah Rasputin yang sudah melewati batas norma kemanusiaan dengan pesta anggur dan seksnya. Di saat situasi semakin tak terkendalikan maka pada penghujung tahun 1916, Rasputin menulis surat kepada sahabatnya Tsarina.
      
"Kutulis surat ini di St. Petersburg. Aku merasa akan mampus sebelum tanggal 1 Januari. Karena itu kukabarkan kepada rakyat Rusia, kepada bapa, kepada bunda, kepada anak-anak, dan kepada tanah Rusia, apa yang seharusnya mereka ketahui," begitulah surat terakhirnya tertanggal 7 Desember 1916. "Jika aku dibantai oleh saudara-saudaraku kaum petani Rusia, maka engkau, Tsar Rusia, tak perlu takut akan masa depan anak-anakmu. Mereka akan tetap di singgasana selama ratusan tahun. Tapi jika aku dibunuh oleh para bangsawan, dan jika mereka menumpahkan darahku, tangan mereka akan terus kotor oleh darahku, selama 25 tahun mereka tidak akan bisa membasuh tangan mereka dari darahku. Mereka akan terusir dari Rusia. Mereka akan saling bunuh sehingga dalam kurun 25 tahun tak akan ada lagi bangsawan di negeri ini. Maka jika kau dengar dentang lonceng yang mengabarkan kematian Grigory, kau harus tahu; jika keluargamu yang menyebabkan kematianku, maka sekali lagi kukatakan, tidak ada satu orang pun dari keluargamu yang akan tetap hidup selama lebih dari dua tahun..."

Usianya yang ke 47 tahun, setelah 22 hari sejak penulisan surat di atas, tepatnya tanggal 29 Desember 1916 Rasputin diracun sianida dengan dosis untuk mematikan sepuluh orang. Hari itu, dia dijebak di istana Pangeran Felix Yusupovsky saudara Tsar Nicolas II dengan tipu muslihat bahwa istri Pangeran yang cantik ingin bertemu dengan utusan Tuhan yang suci. Namun dia belum mati, racun tak mempan, maka dari belakang dia ditembak berkali-kali oleh dua anggota keluarga. Tetap bisa bertahan hidup dan kembali 3 tembakan menembus tubuhnya, tetapi tidak mati juga. Segera dia ditangkap dan dipukuli dengan tongkat kemudia diseret untuk ditenggelamkan ke dalam sungai Neva yang dingin. "Darah yang mengalir dari tubuhku adalah darah Rusia...,"katanya. Lonceng berdentang. hasil autopsi menyimpulkan penyebab kematiannya adalah karena dibenamkan atau tenggelam.

Bulan Februari 1917 terjadi revolusi yang mengakibatkan abdikasi TsarNicolas II, runtuhnya kekaisaran Rusia dan berakhirnya Romanov. Pemerintahan provisional non komunis (gabungan kaum liberal dan sosialis) di bawah Pangeran Georgy Lvov menggantikan Tsar, dan terjadilah huru hara Juli 1917 dengan naiknya pemerintahan nasionalis Alexander Kerensky. Pada bulan Oktober kemudian Tsar dan seluruh keluarga kekaisaran dinasti Romanov dibantai dalam sebuah Revolusi Bolshevik pimpinan Lenin yang komunis. Namun, itulah Rasputin yang punya peran kecil, menjadi kambing hitam jatuhnya Kekaisaran Romanov. Selalu saja kekuasaan yang zhalim mengambinghitamkan sesuatu yang remeh dibalik kekurangan mereka sendiri. Untuk itulah waktunya kita sembelih 'kambing hitam' itu esok hari. Semoga menjadi Idul Adha yang barokah bagi umat muslim khusunya dan umat manusia pada umumnya, dan tak ada 'kambing hitam' lagi di negeri Indonesia tercinta ini.

Wallahu a'lam bi ash shawab, astaghfirullah al azhim. Allahu akbar, Allahu akbar, La ilaha illaLlahu Allahu akbar. Allahu akbar waliLlahilhamd!

Sabtu, 05 November 2011

Arofah

Istri saya bernama Umu Arafah, maka setiap momentum Hari Arofah selalu special buat kami sekeluarga. Bukan hanya pada bulan Februari dia dilahirkan, atau pada Hari Kartini di bulan April dan pada 22 Desember di Hari Ibu saja. Namun pada hari ini semua anggota keluarga menjalankan ibadah Puasa Arofah bukan karena untuk menghormati dan mencintainya. Artinya puasa Arofah kami tidak berhubungan dengan nama Umu Arofah tentunya, hanya sebuah kebetulan namanya sama, itulah specialnya. Diantara puasa yang dapat menghapus dosa adalah puasa hari Arafah, karena dia dilakukan pada suatu hari yang amat agung. Dengan keagungan hari tersebut, maka puasa di hari Arafah ini juga penuh dengan keagungan.

Puasa hari Arafah ini dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah, seiring dengan berkumpulnya seluruh jamaah haji atau wuquf di Padang Arafah. Puasa Arafah ini disunnahkan bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji, tidak dianjurkan berpuasa, karena pada saat melaksanakan wuquf ini mereka sangat memerlukan stamina tubuh yang prima agar tetap stabil sehingga dapat memperbanyak ibadah, dzikir, dan doa secara optimal. Kalau kita ada kesempatan melakukan ibada haji, merinding rasanya ketika berada di Padang Arafah, menyaksikan lautan jamaah haji yang berkumpul di tempat suci itu. Satu rukun haji yang paling penting yaitu wuquf di padang Arafah. kami sekeluarga merindukan itu...

Wuquf di Padang Arafah merupakan rukun dan puncak manasik (ibadah) haji. Jika seorang jamaah tidak datang melakukan rukun haji tersebut pada waktu yang sudah ditentukan, maka hajinya tidak sah dan harus mengulangi haji tahun mendatang. Dengan wukuf inilah sebagai gambaran bagi kita untuk menyatukan langkah bagi kaum muslimin sedunia. Dan dengan wukuf ini pula kita teringat bahwa suatu ketika yang hanya bagi Allah rahasia itu ditanganNya, yaitu datangnya hari akhir ketika seluruh umat manusia sejak Adam hingga kiamat dikumpulkan yang tanpa perlindungan kecuali perlindungan dari sang Pencipta saja. Ibu lupa bayinya, suami melupakan istrinya, sahabat melupakan karibnya, hanya memikirkan nasibnya sendiri saja. Disinilah saya memberikan taushiah pada istri dan anak-anak, agar menjadikan Allah Ta'ala sebagai satu-satunya sandaran kehidupan.

Ada beberapa hadist yang menjelaskan tentang keutamaan puasa hari Arafah ini, di antaranya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menyebutkan, hari itu adalah hari pengampunan dosa; pada hari itu pula para hamba yang Allah Azza wa Jalla kehendaki dibebaskan dari api neraka.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

 “Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka lebih banyak daripada di hari Arafah” (H.R. Muslim).

Ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menjawab:.
"صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنَّهُ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ".

“Saya berharap kepada Allah agar puasa hari Arafah dapat menghapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (H.R. Muslim).

Tidak semua dosa akan dihapuskan karena menurut sebagian para ulama, yang dimaksud dengan dosa dalam hadits di atas bukanlah dosa besar, melainkan dosa-dosa kecil. Dengan berlandaskan hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ ، وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ ، مُكَفِّراتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, shalat jum’at sampai ke shalat jum’at berikutnya, puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya adalah sebagai penghapus (dosa) apabila perbuatan dosa besar ditinggalkan”. (HR. Muslim)

Sepulang sekolah anak-anak bercerita kalau di sekolah hanya mereka tadi yang berpuasa, setelah mendengar beberapa penjelasan di atas mereka lega dan tetap bersemangat. Dan kalian wahai istri dan anak-anakku, kesinilah mari kita berdoa bersama: “Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. ” 

Jumat, 04 November 2011

Sadar Diri

Dalam hidup ini, setiap insan di dalam perjalanan seringnya hanya melihat sekelilingnya. Wadhuh, alangkah hijaunya rumput tetangga. Waah, dia bisanya hanya sebatas itu, jauhlah dengan diri saya. Weee, itu barang milik teman sekerja bagus amat, amat saja nggak bagus!. dan berbagai komentar selalu diucapkan, tanpa mau bercermin, siapakah dirinya. Sejauh mana segala retorika pidatonya dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak diantara kita yang malas untuk 'ndelok githoke dhewe' alias introspeksi dan kejujuran pada diri sendiri. Berbanyak-banyak waktu untuk merenungkan diri kita, kiprah kita, berkaca menghitung diri, latihan ngudoroso... Senyampang belum terlambat kesadaran bermuhasabah!

Saya teringat suatu kisah, Umar bin Abdul Aziz (Khalifah pada masa Bani Umayyah) sedang menangis kemudian didatangi seseorang. Kemudian orang itu bertanya dengan hati-hati,"Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur. Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi?” Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wata'ala. Ia pergi untuk selama-lamanya.

Amirul Mukminin yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah ’orang-orang risau. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir. Bahkan sebagian mereka mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya, terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang dipikulnya. Paradigma orang yang menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis, karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat. Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.

Namun Umar bin Abdul Aziz tetap sadar untuk menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan. Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya merunduk dan merendah. Kerisauan seorang Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya ia bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.

Karena rasa risau adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya, lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri, tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau. Demikian pula kerisauan Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam terhadap ummatnya ketika menjelang ajal menjemput. Hanya ummat yang selalu beliau risaukan. Hanyalah ummat yang selalu diperhatikan, kesadaran untuk mawas diri sekelas Rasulullah itu begitu tinggi akan tanggungjawab yang diembannya sebagai pemimpin ummat akhir zaman. Dan disitulah letak kemuliaannya di atas seluruh ummat manusia.

Dan kisah berikut juga menjadi ibrah bagi kita, tentang kesadaran yang terlambat. Ketika lilin di kamar Louis XV padam menandakan Kaisar Perancis itu mati oleh gempuran dahsyat penyakit cacar sehingga mukanya menghitam dan mengeluarkan bau busuk. Naik tahta cucunya dengan gelar Louis XVI yang didampingi Maria Antoinette, permaisuri jelita bak malaikat pembawa cahaya baginya. Puluhan ribu rakyat Perancis mengelu-elukan mereka berdua ketika pemunculannya di balkon istana untuk pertama kali, mungkin seperti Pangeran William dan Kate kemaren di Inggris. Ya, rakyat jatuh hati pada pada permaisuri nan cantik dan muda penuh cinta. Antoinette segera menulis surat kepada ibundanya,"Rakyat menyamutku ibu, aku tak akan melupakan itu!".

Tapi Antoinette begitu cepat lupa, ketika sambutan terlampu sering karena rutinitas membuatnya tak peka dan tak lagi terharu. Putri bungsu Maria Theresa ratu Austria ini merasa perlakuan dirinya itu sudah sewajarnya karena ia adalah perempuan strata tertinggi di istana Versailles. "Sekalipun Tuhan telah menakdirkan hal ini, tetapi alangkah menakjubkan, bahwa anak ibu kini terpilih sebagai ratu sebuah kerajaan terindah di Eropa," tulisnya dalam surat kepada ibundanya. Aapa jawaban sang ibu dengan kurir bernama Mercy,"Saya rasa zaman gemilang buat Antoinette sudah lewat." Ibunda merasa kematian Louis XV terlampau cepat, sehingga dianggapnya sebuah beban berat mahkota yang nangkring di kepala anak dan menantunya yang masih belia.

Si ibu sangat mengenal anaknya yang cantik, lincah dan tidak terlalu suka berpikir. Putrinya ini menikah terlalu muda hanya karena untuk kepentingan politik waktu itu. Yaitu Austria ingin mengakhiri ketegangannya dengan Perancis, sekaligus mencari sekutu dalam menghadapi Prusia (sekarang Jerman). Dan terbukti, Antoinette yang muda dan badung memberontak terhadap kekakuan etiquette istana Versailles. Tiga putri Louis XV alias para iparnya memanfaatkan kebadungannya untuk membenci Madame Dubarry, seorang selir Louis XV yang ingin menggenggam istana setelah wafatnya permaisuri. Dan Dubarry bukanlah lawan sepadan bagi Antoinette. madame ini langsung terdepak setelah Louis XV meninggal, apalagi suaminya menggantikan sang kakek menjadi raja muda baru.

Raja muda yang peragu, gugup, lemah dan tak pandai bicara ini mempunyai kekurangan yang sudah bukan rahasia lagi waktu itu, yaitu dalam tujuh tahun perkawinannya, ia gagal diranjang. Kemandulan raja segera menjadi isu politik di daratan Eropa. Intrik di istana semakin menggila, dan Louis XVI menjadi seorang penyendiri dan tidak berani menatap wajah orang lain. Maka Antoinette mengatasi kebekuan ranjangnya dengan menjadi 'Madame Defisit' karena menggunakan anggaran kerajaan untuk pesta pora, berfoya-foya dimeja perjudian. "Buat aku tidak menjadi soal jika engkau dikawani suamimu, engkau selalu mengembara seorang diri," tulis ibunya di Austria yang galau dengan kegelapan masa depan anaknya. "Ibu, apakah aku harus mati karena rasa jemu?" balasnya.

Anda wahai pembaca, jangan coba-coba punya niatan untuk menemaninya, waspadalah! Rumput sendiri lebih hijau lho dari pada punya tetangga. Hehehe....Waktu berlalu, Antoinette menapaki anak tangga kejatuhannya. Kegemarannya berpesta makin mengobarkan manuver-manuver dalam istana dan menyalakan api perlawanan kaum republiken di luar istana. Kas negara devisit untuk biaya pestanya dan rakyatpun kelaparan dimana-mana. Maka dulu waktu mengajar tentang Revolusi Perancis di kelas II SMP saya sampaikan tentang Ratu Bangkrut ini. Ada sedikit harapan setelah tujuh tahun perkawinannya, Raja operasi ringan -bukan lewat Mak Erot- Antoinette merasakan kebahagiaan tak terkira, kebahagiaan seorang istri yang baru saja diperawani. Karena thok cer atau cus plenthung, ia segera hamil anak pertama dan seterusnya sampai empat kali. Nggak usah cerita prosesnya, wong anda lebih berpengalaman dari pada Louis XVI.

Maria Antoinette sangat mencintai anak-anaknya, walau yang hidup hanya dua, karena keguguran dikehamilan kedua dan bayi ke empat meninggal. Sayang, kesadaran atau mawas dirinya terlambat. Ia menjadi orang asing bagi rakyat Perancis. Kaum republiken mencaci maki, saudar raja yang mengincar tahta makin jahat tabiatnya, karena seperti sudah tanpa harapan. Maka di tengah kebencian semua pihak dia menjadi sasaran empuk bagi berbagai fitnah, dan yang terkeji adalah ia dianggap memperkosa dan menyetubuhi anak lelakinya sendiri yang baru berusia 8 tahun. Sebuah konspirasi kelas tinggi dan mengerikan.

Demikian, revolusi dimulai dari dalam istananya sendiri. Setelah revolusi Perancis sukses dengan Liberte, Fraternite, dan Egalite maka peradilan dilakukan untuk Antoinette. Anak lelakinya yang masih kecil dipaksa untuk mengakui kebenaran tuduhan, dan si anak pun akhirnya terpaksa mengakui. Dalam persidangan, Antoinette bersaksi,"Kalau saya tidak menjawabnya, ini karena nurani dan sifat kewanitaan saya menolak untuk menjawab tuduhan keji semacam itu yang ditujukan kepada seorang ibu. Ini juga permohonan saya pada semua ibu yang hadir di sidang ini." Permaisuri yang dicaci maki itu memperoleh simpati, tetapi ia tak sanggup untuk menyelamatkan jiwanya. Riwayat ini berakhir ketika tajamnya pisau guilotin (semacam pemotong kertas foto copy) memisahkan kepala dari tubuhnya. Sang ibu Maria Theresa tak bisa menyaksikan akhir perkawinan politik yang dirancangnya karena sudah lebih dulu mati.

Kamis, 03 November 2011

Tidak!

Sedari awal anak-anak saya sudah belajar kata 'tidak!' ketika kami orang tuanya memberikan beberapa pancingan. Pagi ini sebelum berangkat sekolah si bungsu diminta ibunya memakai baju,"Ayo nak, bajunya cepat dipakai." "Tidak!" jawabnya. "Aku minta baju lain!" dia memberi alasan mengapa tidak mau memakai baju yang disodorkan atau pilihan ibunya. Ketika menceritakan sesuatu kepada si sulung dan si tengah, kadang dengan sengaja saya menyelipkan beberapa kata yang masih asing ditelinganya. Kemudian saya bertanya,"Ada yang ditanyakan nak, mungkin tidak maksud kata-kata abah?" Dia menjawab,"Apa sih maksudnya bla...bla...bla?" Sehingga, seringnya dia belajar berkata tidak dan belajar bertanya mengakibatkan kekritisannya muncul. Akhirnya, seringkali gurunya dibuat repot dengan segala bentuk protes.

Sangatlah naif jika banyak anak-anak kita yang hanya diajarkan bagaimana berkata,"Ya saya paham!" padahal mereka tidak mengerti, dan tetap tidak mengerti. Berkata demikian karena dorongan rasa takut dimarahi jika dikatakan tidak tahu alias bodo, atau takut berkata tidak dengan penolakan tersebut mengakibatkan munculnya kekerasan pada mereka, atau hanya sekedar menyenangkan penanya agar tidak terlalu lama pembahasan karena mereka sudah bosan. Anak-anak banyak diajarkan tentang penyeragaman, pemaksaan kehendak untuk mengikuti alur pemikiran orang lain dan tidak mengenal dirinya sendiri.

Untuk belajar berkata "Tidak!", kita dapat menengok kisah budak yang bernama Spartacus. Dia terlahir sebagai seorang budak, ya benar budak struktural warisan kedua orang tuanya. Sejak pertama kali menarik nafas dia telah terelenggu di bawah ketiak orang Romawi. Para budak memecahkan gunung batu dengan otot-otot mereka yang kuat bertumbuh. Untuk pembebasan, maka yang harus dikatakannya adalah berkata,"Tidak!". Bersama budak lain yang dipimpinnya, Spartacus melarikan diri, menghimpun kekuatan, dan memperhitungkan tempo yang tepat untuk meninggalkan Romawi menuju kemerdekaan.

Berbekal kekayaan yang mereka kumpulkan, akhirnya Spartacus dan kawan-kawan berhasil memesan 500 kapal kepada seorang perompak. Namun usaha mereka telah tercium oleh tuannya bangsa Romawi. Sehingga bajak laut yang dipesani kapal datang kepada Spartacus untuk membatalkan perjanjian mereka beberapa hari menjelang rencana. "Maaf sobat, Romawi telah memaksaku mengingkarimu," kata sang perompak. "Kalau begitu, kami akan berperang melawan pasukan Romawi!" kata Spartacus dengan geram. Perompak memberikan nasehat," Jangan sobat, lihatlah nasibmu pada bola nujum. Kau akan kalah!". "Huahaha...kami akan menang, sobat!" jawab Spartacus tak kalah garang. "Kau akan mati. Apakah kau tetap akan berperang walaupun sudah tahu pasti akan mati?" tanya perompak. Dengan segala kemantapan hati, Spartacus menjawab,"Jika kau bangsawan Romawi, maka kematian menjadi sebuah bencana. Namun bagi seorang budak, kematian adalah pembebasan. Aku akan berperang melawan mereka, karena apapun hasilnya, kamilah pemenangnya!"

Disusunlah barisan kekuatan para budak untuk menghadang laju gerakan pasukan Romawi yang semakin mendekat. Perang pun meletus dan diakhiri dengan penawanan para budak kembali. Saya tidak mengatakan kemenangan Romawi ataupun kekalahan para budak. Semua budak tertangkap dan sebagian gugur membela kehormatannya. Disaat seperti itulah, Varinia istri Spartacus melahirkan bayi mereka. Bayi yang lahir dalam keadaan suci namun menjadi budak seperti orang tuanya. "Hai budak! Akhirnya kalian kembali ke tempat asal kalian..." seru seorang tuan Romawi bernama Crassus kepada sisa-sisa laskar budak yang dirantai menjadi tawanan.

Saudaraku, itulah kehidupan semu. Setiap kekuasaan yang diperoleh karena nafsu, pada dasarnya manusia selalu gemar dengan ketidaksetaraan. Mereka sengaja mengumbar hawa nafsunya agar dari masa ke masa selalu ada penghambaan, eksploitasi dan patronase. Dalam semua segi kehidupan. Kehidupan yang semu. Amarah yang menyala di mata Spartacus menentang mata Crassus. Maka panglima pasukan Romawi itu menjadi bergetar dan merasakan hawa dingin yang merasuki seluruh tubuhnya. Kesombongan yang telah diajarkan iblis membuatnya mendongak ke atas, sebuah upaya menghindari tatapan mata tajam Spartacus.

"Yang manakah Spartacus?" berteriak lantang ia mencari diantara sekian orang bermata tajam. Tidak disangka, satu per satu para tawanan yang dirantai berdiri tegak dan mengatakan,"Aku Spartacus!" Crassus semakin gemetaran. Tidak kurang akal, maka segera ditemui pedagang budak yang dulu menjual Spartacus. Dengan mudah Spartacus dapat dikenali sejak kedatangannya dalam penjualan budak di arena gladiator. Sejak itulah Spartacus menjadi sahabat Antoninus, bekas budak Crassus. Sahabat terdekat yang saling mencintai di kala suka dan duka tentunya. Dibisikkanlah sebuah ungkapan legendaris kepada sahabatnya,"Apabila ada seribu orang yang menyatakan 'tidak', maka Romawi akan jatuh dan para budak akan menjadi orang bebas!".

Ucapan 'tidak!' itulah yang sangat tidak disukai Crassus dan tuan-tuan Romawi. Tidak boleh seorangpun yang mengucapkan kata 'tidak!' karena akan mengurangi dan merongrong kewibawaan Imperium Romawi. Kekuasaan adikuasa Romawi tidak boleh ditundukkan oleh seorang budak. Sebagaimana kekuasaan rezim Amerika Serikat dengan hak veto di PBB tidak boleh ditundukkan oleh bangsa Palestina. Kekuasaan status quo selalu terusik ketika ada klilip-klilip kebenaran yang diungkapkan. Kekuasaan yang gemetar ketakutan oleh kata 'tidak!' membawa Spartacus dan Antoninus segera dilemparkan di tengah arena. "Aku akan menguji rasa kesetiaan para budak, bertarunglah kalian!," kata Crassus.

Dua orang sahabat erat saling erhadapan. Keduanya membawa pedang terhunus. "Aku akan membunuhmu Spartacus. Sebab, jika kau keluar dari arena ini, mereka bangsat Romawi itu pasti akan menyalibmu. Karena cintaku, aku tak tega kau disalib oleh meraka,"bisik Antoninus menjelang pertarungan. Spartacus membalas,"Aku yang akan membunuhmu, ini perintahku terakhir! Romawi keparat itu tak boleh menyiksamu di tiang salib." dan pertarungan dimulai dengan kesungguhan, masing-masing berikhtiar untuk membunuh sahabat terdekatnya. Sebab, kematian adalah pembebasan. Pertarungan berakhir ketika mata pedang Spartacus menancap di dada Antoninus. "Maafkan aku," bisik Spartacus ke telinga karinya. "Aku mencintaimu, Spartacus! Seperti aku mencintai ayahku yang mengajarku menyanyikan lagu-lagu kebaikan," rintih Antoninus menjelang ajalnya. Spartacus menimpali,"Aku mencintaimu, Antoninus. Seperti aku mencintai anakku ayng belum pernah kulihat wajahnya."

Mereka berdua saling berpelukan dalam persahabatan. Kematian tiada artinya bagi keterbelengguan, sehingga tiada kata takut untuk mati. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam memberikan pertanda datangnya hari akhir ketika mewabahnya penyakit 'wahn' yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati. Dan hari itu, Antoninus meraih kebebasan dengan kematian di tangan sahabatnya sendiri. Spartacus dan tawanan lainnya pun melewati tahapan yang sama menuju kematian dengan disalib dan dipancangkan di sepanjang jalan keluar kota Roma. Pemimpin pemberontakan para budak itu mati di tiang salib, namun doanya yang diucapkan setiap malam menjelang kematiannya agar anaknya lahir sebagai orang merdeka dikabulkan Yang Maha Kuasa. Dan di hari kematiannya, seorang Senator lawan politik Crassus di Romawi mengeluarkan surat pembebasan bagi Varinia dan bayinya. Ya, orok Spartacus memanen perjuangan ayahnya : Kemerdekaan!

Selasa, 01 November 2011

Kecendekiawanan Islam

Setelah belajar tentang sejarah Negeri Turki dan Negeri Jepang, saya teringat akan budaya taqlid dan ijtihad. Walaupun saya bukan ahli fiqih, namun pengen rasanya membahasnya karena beberapa hal berhubungan dengan tradisi kecendekiawanan. Taqlid merupakan suatu mekanisme pewarisan dan pengakuan otoritas masa lampau yang menghasilkan akurasi pengalaman dan informasi. maka tidaklah mengherankan dalam kehidupan kita mengandung unsur taqlid. Yang merupakan larangan adalah paham taqlid artinya taqlid sebagai isme yang tertutup. Sehingga cenderung mensakralkan masa lampau atau orang-orang suci terdahulu. Inilah yang kemudian menghasilkan kaum konservativisme yang tidak inklusif.

Cobalah kita melihat perjalanan Bangsa Turki sebagai bangsa bukan barat yang dipelopori oleh Kemal Pasha (nggak ada hubungannnya dengan UNGU) sebagai bangsa yang berusaha dan mendeklarasikan sebagai negara modern. Sampai detik ini saya menulis, kenyataan menunjukkan belum berhasil menjadi negara modern. Turki tetaplah menjadi bagian dari anggota negara-negara dunia ketiga. Sangatlah kontras jika dibandingkan dengan Bangsa Jepang yang lebih berhasil menjadi modern daripada Turki yang Islam. Padahal afinitas kultural antara orang Islam dan barat lebih dekat dibandingkan dengan Jepang. Dan sampai detik ini, Jepang jauh melampaui Turki dalam prestasi, sungguh menakjubkan.

Ada sesuatu yang mesti diluruskan tentang orang-orang Islam, berkaitan dengan taqlid dan ijtihad. Ketika pasukan Mongolia menjarah dunia Islam pada dinasti Abbasiyah dengan menghancurkan Baghdad, eskalasinya tidak sampai Mesir. Sebuah keberuntungan yang akhirnya disaat sekarang ini dunia Islam masih memiliki Universitas Al Azhar sebagai pusat intelektualisme. Ini disebabkan Mesir masih bisa dan berhasil meneruskan tradisi kecendekiawanan Islam. Namun untuk menjadi negara modern, Mesir pun mulai berubah tradisi meniru barat sebagai patokan. Banyak ulama Islam yang tidak sanggup mengembangkan pemikiran-pemikiran baru dalam menyelami dan memahami kandungan al Qur'an. Mereka mengadopsi hukum-hukum barat untuk mengganti hukum-hukum Islam.  Gejala tersebut melanda ke seluruh bangsa-bangsa Muslim di dunia, tentunya termasuk di nusantara, yang saat ini berdiri Negara Indonesia. Akibatnya adalah tidak berkembangnya keilmuan Islam dalam kehidupan alam yang semakin komplek.

Sebenarnya baik Turki, Mesir dan Indonesia merupakan pelajaran terbaik tentang dampak pemutusan kultural intelegensia dengan masa lampaunya. Jika Turki disimbolkan dengan keputusan Kemal Pasha menggantikan huruf hija'iyyah Arab  sebagai medium penulisan ilmu pengetahuan dengan tulisan latin. Bangsa Turki sekarang ini akhirnya tidak bisa menggali lagi khasanah kekayaan dunia keilmuan pada masa Kekhalifahan Utsmani dan tidak mampu memahami warisan budaya mereka sendiri, jika dicoba pun harus memulainya kembali dari nol. Jadi orang Turki menjadi tawanan kekinian dan kedisinian, yang tidak bisa lagi menengok kebelakang (tertutup) akibat dari penggantian huruf tadi dan sulit untuk menengok ke depan karena harus menghadapi bangsa Eropa yang sudah demikian kompetitifnya. Inilah akhirnya membuat Turki mengalami kemiskinan intektual, dengan minimnya karya-karya besar dari orang Turki sekarang. Tidak jauh terjadi hal seperti itu pada bangsa Mesir dan bangsa Indonesia.

Sedangkan disatu pihak, Jepang selalu memelihara kontinuitas tradisi. Artinya ada tradisi taqlid pada mereka, sekali lagi bukan taqlidisme. Mereka menjadi negara ultramodern sekarang dengan tidak terputus dari masa lalunya. Bangsa Jepang tidak pernah berpikir untuk mengganti huruf Jepang dengan huruf laatin dalam dunia keilmuan dan keseharian. Oleh karena itulah, mereka menengok masa lalu dengan penuh konfidensi dan kebanggaan. Kemodernan Jepang adalah bagian dari pada kejepangan. Sementara di Turki, kemodernan disimbolkan adanya penggantian sorban dengan topi, huruf Arab dengan huruf latin, bahasa Arab sebagai bahasa nasional dengan bahasa suku Turki. Tentunya kemodernan di Turki bukannya menjadi keturkian namun menjadi sesuatu yang aneh dan asing. Disinilah taqlid harusnya menjadi media dan cara untuk menjaga kontinuitas budaya.

Untuk melakukan ijtihad, dapat menggunakan banyak metode bagi ulama yang berkompeten yaitu dengan al-mashalihul mursalah (kepentingan umum), istihsan, istishlah dan istishhab. Semua itu merupakan variabel-variabel yang digunakan untuk pertimbangan sebelum berijtihad dimasa sekarang. Sehingga kalau mengutip ahli fiqih, bahwa tindakan seorang pemimpin seharusnya mengambil tindakan yang efektif. Maksudnya bahwa setiap keputusan pemerintah kepada rakyatnya harus mempertimbangkan kepentingan umum (al maslahatul ammah). Sedangkan kalau melakukan istihsan yaitu pertimbangan kepentingan umum secara independen dapat mengakibatkan pemerintah sebagai penetap hukum yang independen dan dapat 'menyaingi kekuasaan Tuhan'. Meskipun ijtihad merupakan kebebasan, namun kebebasan yang terbatas bukan kebebasan berpikir yang mutlak. Terbatas akan adanya aturan baku dari Allah Ta'ala kepada rasulNya Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam dengan pemahaman para sahabatnya yang mulia.Keterbatasan tersebutlah yang disebut taqlid, yaitu penerimaan nash, memperhatikan apa yang telah menjadi semangat dari agama. Dan itu yang menjadi dasar validitas suatu hasil ijtihad.

Ijtihad merupakan suatu kegiatan intelektual dalam Islam yang harus tetap berada dalam koridor keislaman sehingga diperlukan otentisitas secara tekstual maupun historis. Artinya, bisa dirujuk secara jelas dan otentik dalam arti nash maupun historis yaitu kekayaan intelektual kita dalam sejarah. Tentunya dengan kondisi ummat manusia dari satu dekade ke dekade selanjutnya hingga yaumul akhir diperlukan ijtihad, agar peran Islam rahmatan lil 'alamin benar-benar optimal. Ijtihad yang seharusnya bersifat otentik, sangat erat kaitannya dengan dinamika dan pertumbuhan, maka ijtihad merupakan keharusan yang alami. Rasulullah pernah bersabda bahwa barangsiapa berijtihad  dan benar mendapatkan dua pahala, dan arangsiapa berijtihad dan kemudian salah maka mendapatkan satu pahala. Jika memahami lebih luas hadits tersebut, tentunya kita bangsa Indonesia haruslah selalu bertumbuh membawa Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban dengan menumbuhkan kecendekiawanan.
Wallahu a'lam bi ash shawab.

Kawan Lawan

Ketika menggunakan kata kawan berhati-hatilah karena lidahmu dapat terpeleset mengucapkan lawan, yang artinya sangat berlawanan. Terkisah dua orang pemuda seusia, karena mereka dilahirkan pada tahun yang sama yaitu 1879. Yang satu bernama Dzhugashvili anak seorang tukang sepatu yang miskin di Georgia Rusia Selatan. Sedangkan yang lain bernama Lev Davidnovich Bronstein anak keluarga petani Yahudi yang kaya di Kherson Ukraina.

Ketika menginjak remaja, Dzhugashvili masuk seminari di Tiflis, dan sejak itulah dia mengenal marxisme. Dalam dua tahun saja dia telah menggenggam marxisme makin kuat. Dia memulai aktifitas menulis sejak tahun 1901 saat untuk pertama kali tulisannya muncul di sebuah surat kabar yang terbit di Georgia. Perannya dalam membela Vladimir Ilyich Ulyanov alias Lenin yang menghendaki perjuangan Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia dengan cara-cara perubahan secara revolusioner dengan pimpinan pusat yang ketat yang sering disebut sebagai kelompok Bolshevik sangat antusias dan kuat. Sedangkan waktu itu kelompok Menshevik seperti Pavel Axelrod, Julius Martov, Alexander Martinov dan Fedor Dan menghendaki anggota berjuang 'dibawah petunjuk organisasi dengan struktur partai yang agak lepas dan otonom.

Sedangkan Davidnovich yang punya sifat periang sejak kecil juga menemukan marxisme di usia remaja. Disaat usia 17 tahun dan selalu menjadi bintang kelas, siswa ini bergabung dengan kelompok populis di Mykolayiv. Sehingga disaat usia 18 tahun lulus Universitas Georgia, dia diamanahi menjadi Pemimpin Serikat Buruh Rusia Selatan. Aktifitas inilah yang menyeretnya ditangkap dan dipenjara kemudian dibuang ke Siberia. Di tahun 1902, dia berhasil lari ke Eropa dan bergabung dengan Lenin yang juga pernah ditahan di Siberia. Di Eropa itulah tokoh-tokoh sosial demokrat Rusia semakin menguat .

Dua remaja di atas yang seusia itu selanjutnya menjadi kader Partai Komunis Rusia yang terkemuka sejak Lenin dan pendukung utamanya di barisan Bolshevik mendirikan partai tersebut pada tahun 1912 memisahkan diri dari Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia. Tahun yang sama di Indonesia berdiri National Indische Partij, sebuah partai politik nasionalis pertama di Indonesia yang didirikan Tiga Serangkai; Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat. Demikian pula di tahun tersebut sebuah konggres organisasi sosial politik dengan massa terbesar dan tertua di Indonesia Serikat Islam sedang berlangsung di Soerabaja dengan pimpinan Oemar Said Tjokroaminoto seorang guru politik pertama bagi Soekarno (tokoh nasionalis sekuler), Semaoen (tokoh sosialis komunis), Agoes Salim (tokoh nasionalis islamis) dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (tokoh islamis revolusioner).

Saudara-saudara, kedua remaja sekawan tadi kemudian mempunyai nama samaran sebagaimana Lenin yang mengambil dari nama sebuah sungai di Siberia yang bernama Lena. Dzhugashvili terkenal dengan sebutan Joseph Stalin dengan gayanya yang kaku -nama Stalin berarti manusia baja-, sedangkan Davidovich terkenal dengan nama Leon Trotsky yang meraih popularitas dengan gayanya yang flamboyan dan retorikanya yang cemerlang. Episode berikutnya adalah keduanya menjadi lawan, sebuah perseteruan dan membuat mereka saling membenci dan menyerang.

Lenin sendiri lebih dekat ke Trotsky yang kebetulan tanggal lahirnya bersamaan dengan Revolusi Bolshevik Rusia dalam menggulingkan Tsar Nicolas II Rusia membentuk Uni Soviet. Trotsky adalah orang kedua setelah Lenin, sehingga di tahun 1922 sang pemimpin de facto Uni Soviet pertama, Lenin menulis testimoni bahwa Trotskylah yang nanti menggantikannya sebagai pemimpin Uni Soviet setelah dia. Namun, Lenin kemudian mengalami beberapa kali stroke setelah ditembak seorang wanita revolusioner Rusia dan menjadikan Trotsky tidak dalam posisi nyaman untuk menggantikannya. Stalin yang kaku dan keras menyingkirkan semua kawan-kawannya sesama anggota partai, dari 23 'staff umum' pendamping Lenin di saat Revolusi 1917 tanpa sisa dan tak seorangpun yang masih duduk dikursinya kecuali Stalin. Sedangkan lainnya ada yang mati, hilang, bunuh diri, terbuang dan dihukum mati. Termasuk Trotsky yang kemudian hidupnya melompat-lompat dari satu negara ke negara lain untuk menghindari sergapan antek Stalin. padahal Trostsky adalah revolusioner Rusia yang mendirikan Tentara Merah dan Politbiro Partai Komunis Rusia.

Tanggal 20 Agustus 1940 seorang lelaki bernama Jassen Monard pacar pengagum Trotsky menunjukkan naskah tentang Uni Soviet di ruang studi tempat tinggalnya. Ketika Jassen meletakkan raincoat, ternyata didalamnya terdapat kapak besar bergagang pendek untuk memukul kepala Trotsky. Trotsky melawan dengan menggigit tangannya,tetapi ketika dalam perawatan di rumah sakit dia meninggal dunia. Kemudian terbukti bahwa Jassen adalah agen Stalin yang ditugaskan untuk membunuh Trotsky di Coyoacan, Mexico City. Sedangkan kawannya yang kemudian menjadi lawan, Stalin semakin kukuh berkuasa di Kremlin Rusia dengan memberikan hadiah kehormatan bintang pahlawan kepada Jassen yang bungkam membisu di penjara Mexico selama 20 tahun. Ironis, sebuah persahabatan yang membawa kepada perseteruan. Komunis yang merasa paling sosialis, apalagi dunia kapitalis yang materialis sungguh menempatkan dunia di hati bukan di tangan, sehingga kekuasaan menjadi target kehidupannya.

Disaat akhir hidupnya Trotsky sedang menulis sebuah karya berjudul Hidup Itu Indah. kalimat itu pada setengah abad berikutnya, mengilhami Roberto Benigni untuk membuat film dengan judul " Life is Beautiful". Sebuah film yang lucu dan tragis, yang mengingatkan kembali bahwa kepahlawanan bisa tumbuh dari siapa saja. Dan hanya selalu tumbuh karena rasa cinta. Guido Orefice, yang diperankan sendiri oleh Benigni adalah seorang Yahudi yang diseret ke kamp konsentrasi ketika Mussolini membangun aliansi dengan Adolf Hitler pada Perang Dunia II. Awalnya Mussolini dari Italia mencibir kegilaan rasialis Hitler terutama kepada orang berdarah Yahudi, kemudian berbalik menjadikan Italia sebagai tempat tidak nyaman pula bagi orang-orang Yahudi.

Guido berusaha menutup mata anaknya yang berusia 5 tahun bernama Giosue dari kegilaan tokoh fasis Itali tersebut. Ketika mereka berdua sedang jalan-jalan, bertanyalah si anak kepada ayahnya,"Mengapa orang menulis seperti itu, Papa?" ketika ada sebuah papan bertuliskan: Yahudi dan anjing dilarang masuk! "Orang bisa menuliskan apa saja," kata sang ayah. "Ada toko yang menuliskan orang China dan kuda dilarang masuk. Kita juga bisa menuliskan di toko buku kita, kecoa dan kucing dilarang masuk. Fair, kan?" Hidup itu indah. dan hidup itu harus indah dimata anaknya, dalam pandangan Guido. Bahkan ketika kamp konsentrasi menjadi tempat terakhir bagi bapak dan anak itu. kamp konsentrasi 'hanya' permainan dan kekejaman tentara NAZI adalah sesuatu yang wajar. Mereka memang diharuskan kelihatan galak karena permainan itu hadiahnya luar biasa. Dan semua permainan pasti ada aturannya.

"Yang pertama kali memperoleh poin seribu akan keluar sebagai pemenang," kata Guido kepada anaknya. "Dan jangan beri tahu siapa-siapa, hari ini nilai kita tertinggi. Tapi ingat, kita bisa kehilangan poin karena tiga hal. Pertama, jika kau menangis. Kedua, jika kau mengatakan ingin bertemu mama. Ketiga, jika lapar dan merengek minta makanan. Camkan itu!" Sungguh, begitukah namanya hidup itu. Indah! Hidup dikatakan Guido sebuah permainan. Tidak boleh merengek kepada ibu kita, jika perut keroncongan. Tentunya hidup itu indah karena ada rasa cinta untuk mengusir sebuah kegilaan. Gila kekuasaan, yang tak lagi mengenal siapakah kawan dan siapakah lawan. Semua bisa diatur, oleh nafsumu maka hidup tak indah lagi. Hai kawan, marilah kita melakukan revolusi diri menuju kehidupan indah setelah kematian yang sangat indah.

Senin, 31 Oktober 2011

Kesadaran Sejarah

Upaya pencitraan yang dibangun untuk mengkultuskan seseorang sudah berlangsung lama, apabila terjadi di suatu masyarakat yang belum cukup maju sering diperlakukan dalam persepsi kedongengan atau mitologis. Oleh karena itu, sering terjadi siskap-sikap memutlakkan dan mensakralkan sesuatu yang dianggap sebagai berasal dari tokoh tersebut, biasanya dalam bentuk wawasan atau pikiran. Maka kesadaran sejarah yang saya maksudkan adalah kesadaran bahwa suatu peristiwa, atau tampilnya seseorang pada masa lalu, selalu terwujud dalam hubungan dinamik dengan faktor ruang dan waktu, karena itu tidak dapat dipandang dan dinilai sebagai hal yang berdiri sendiri. Bukanlah sekedar kemampuan untuk mengingat, menghafal dan menuturkan kejadian dan tokohnya lengkap dengan keterangan tentang kapan dan dimananya.

Ketika kesadaran sejarah itu berjalan maka ada dampak logis berupa sikap penisbian terhadap kejadian dan tokoh masa lalu, dengan memandang secara kritis dan dinamis, serta membukanya untuk dapat dipersoalkan dan secara sustainable dapat dipersoalkan kembali. Maka kesadaran tersebut, sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu masyarakat. Diantaranya, kemampuan melihat adanya hubungan dinamis antara kejadian-kejadian, pelaku sejarah, dengan dimensi ruang dan waktu yang mempunyai tuntutan-tuntutan tersendiri akan menyajikan suatu kerangka acuan yang subur dan absah untuk mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi tantangan masa depan. Sebaliknya setiap pemutlakan akan membawa ke jalan buntu dalam mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi masa depan karena hilangnya daya kritis dan kemampuan untuk belajar serta menarik pelajaran dari sejarah itu.

Kesadaran sejarah mengansumsikan adanya suatu hukum sejarah yang obyektif dan tetap, tidak berubah; sebab penarikan pelajaran pada masa lalu dengan sendirinya mengansumsikan adanya suatu pola yang dapat diulang dan dipergunakan untuk ruang dan waktu yang lain, tentunya jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, penarikan pelajaran dari sejarah mengisyaratkan adanya suatu keperluan mengembangkan generalisasi yang bebas titi mangsa (dateless generalization). Misalnya, tentang apa yang terjadi dalam perubahan budaya, generalisasi seperti itu tidak dapat begitu saja diambil dari disiplin lain an sich manapun, tetapi generalisasi itu perlu untuk meneliti apa yang secara bebas titi mangsa penting dari kejadian-kejadian budaya manusia yang berlangsung dalam ruang dan waktu.

Dalam tuntutan riset dimanapaun selalu menggunakan comparative perspectives (pandangan perbandingan) dalam mengeneralisasikan sesuatu. Hal tersebut akan mengansumsikan kemampuan untuk menarik nuktah-nuktah persamaan dan perbedaan dari berbagai peristiwa dalam berbagai ruang dan waktu itu. Tanpa ada pandangan perbandingan, suatu penarikan pelajaran dari sejarah menjadi mustahil yang disebabkan oleh pandangan bahwa sejarah bersifat unik untuk ruang dan waktunya sendiri, tanpa adanya kemungkinan untuk persamaan apalagi pengulangan untuk waktu danruang yang lain. Itu akan menempatkan sejarah akan menjadi benda antik yang dimuseumkan, suatu disiplin mati yang mungkin masih tetap punya peluang menjadi menarik karena keeksotikannya seperti tari orek-orek dari Rembang dan gulat tradisional pathol Sarang bagi para turis.

Suatu generalisasi kesejarahan adalah generalisasi yang masih tetap memperhatikan masalah ruang dan waktu. Tidak seperti generalisasi dari penelitian benda-benda, generalisasi kesejarahan yang dengan sendirinya selalu oleh seseorang, haruslah selalu diterima dengan sebuah catatan subyektif. Akibatnya, meskipun generalisasi itu tetap diperlukan sebagai syarat kemungkinan menarik pelajaran dari sejarah, namun tetap dapat diulang atau diterapkan secara mutlak. Demikian itu membuat generalisasi sejarah tetap mengandung kenisbian. Jika kesimpulan 'hukum sejarah' berupa kenisbian generalisasi itu tidak diakui atau disadari, maka yang dikhawatirkan dari persepsi mitologis kepada sejarah akan menimbulkan sikap dogmatis dan absolutistik. Sehingga walaupun ada 'hukum sejarah' tetap tidak sebanding dengan 'hukum alam'. Itulah mengapa sejarah mempunyai sifat idiomatik, bahwa seseorang untuk mengetahui sejarah masyarakat tertentu haruslah terlebih dahulu mempelajari secara khusus daerah tersebut. Tidak serta merta seseorang mengetahui sejarah masyarakat tertentu kemudian mampu mengetahui sejarah masyarakat di daerah lainnya.

Bisa saja 'hukum sejarah' bersifat pasti yang tidak mengenal perubahan, namun karena menyangkut variabel yang banyak  dan luas, maka pengetahuan manusia tentang hukum itu akan sebanding dengan batas penguasaannya kepada sejumlah variabel yang sedemikian banyaknya itu. Dengan seperti itu, pengetahuan yang dihasilkannya akan mengandung kelunakan (soft science) bukan kelemahan. Hukum sejarah di dalam Al Qur'an yang mulia selalu disebutkan dengan istilah sunnatullah yang secara harfiah bermakna 'tradisi Allah'. Walaupun kitabullah yang berisikan firman-firman Penguasa Jagad Raya dijamin selalu terjaga dan tidak dapat berubah namun pemahamannya oleh manusia mungkin tidak akan pernah mencapai suatu kepastian alias selalu berulang hingga yaumil akhir dalam satu konteks yang selalu berbeda ruang dan waktunya. Itulah yang membuat sesuai dengan perkembangan zaman yang kalamullah selalu menjadi rujukan terakhir solusi kehidupan manusia beradab, bukan sebaliknya mencari-cari ayat Al Qur'an untuk dipaksakan menyesuaikan zaman yang tak beradab.

Berbeda dengan hukum obyek-obyek fisik, yang di Al Qur'an disebutkan sebagai takdir. Takdir Allah (kepastian Allah) yang banyak terbukti dalam ilmu-ilmu eksakta dewasa ini. Oleh karena itulah, mengeksaktakan masalah kesejarahan, baik yang lalu, kini, dan nanti, akan menyalahi keterangan Allah tersebut. Ilmu Allah luasnya melebihi ketentuan 'taqdir'. Itulah mengapa Islam disebutkan sebagai agama yang sempurna dan menyempurnakan hingga akhir zaman. Kemahatahuan Allah Ta'ala meliputi sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, akan terjadi dan yang sering dilupakan oleh manusia adalah sesuatau yang tidak akan terjadi. marilah kita bersama belajar untuk menanamkan kesadaran sejarah pada diri kita dan masyarakat. Suatu bangsa akan sulit berkembang maju, jika kesadaran tentung itu lemah atau bahkan tak ada. Dengan kesadaran sejarah maka kita dapat melakukan akumulasi pengalaman kemanusiaan -suatu metode pendekatan 'ekonomis' atau hemat untuk menumbuhkan kebudayaan dan peradaban. Untuk menuju kesana, masalah kemutlakan dan kenisbian yang menyangkut pengalaman hidup manusia dalam sejarah tetaplah harus diingat. bahaya kemandegan perkembangan karena tidak adanya kapabilitas mengambil pelajaran dari sejarah, sama besarnya dengan bahaya pemutlakan pengambilan pelajaran itu. Selanjutnya kesadaran sejarah juga menuntut adanya konsistensi pemikiran yang artinya harus memiliki keahlian khusus. Seperti ungkapan," The right man in the right place" atau sebuah ungkapan bijak,"Kalau suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya." Wallahu a'lam, fastaghfirullah al adzim.

Rembang,31 Oktober 2011
Seorang pemerhati sejarah yang tinggal disebuah kota kecil bersejarah

Jumat, 28 Oktober 2011

Refleksi Soempah Pemoeda

Seorang mahapatih yang terkenal mempersatukan nusantara adalah Gajahmada. Seorang anak manusia yang lahir di bumi nusantara, dan pandangannya sangat visioner. Demikian pula banyak yang mencibirnya ketika cita-cita mulianya itu diwujudkan dalam bentuk ikrar Sumpah Palapa. Mahapatih muda yang berani dan punya tekad baja untuk tidak akan mengenyam kenikmatan duniawi (makan buah palapa) sebelum nusantara dapat disatukan di bawah satu panji Merah Putih. Kemauan keras pemuda Gajahmada ini dapat direalisasikan walaupun juga tentu banyak kendalanya. Upaya itu tentu ada positi dan negatifnya, bahkan memakan banyak korban ketika melakukan aneksasi dan atau agresi militer.

Berbeda dengan mahapatih muda Gajahmada, ada lagi mahapatih muda bernama Sengkuni dalam dunia pewayangan. Jabatannya ini dia peroleh melalui suatu tindakan licik dengan menyingkirkan mahapatih Gandamana pada zaman Prabu Pandhu Dewanata ayah Pandhawa di Kerajaan Hastina. Jabatannya ini berlanjut ketika Pandhu meninggal digantikan oleh kakaknya yang buta bernama Drestarastra ayah Kurawa, suami Dewi Gendari kakak Sengkuni. Sampai tibalah, keturunan mereka dewasa yaitu para Kurawa dan Pandhawa. Istana dengan provokasi Sengkuni dikuasai oleh Kurawa, dan Pandhawa gagal untuk merebut haknya.

Mahapatih muda ini terkenal licin dalam berpolitik, diapun membisiki Duryudana untuk menantang Puntadewa bermain dadu. Sebuah permainan yang sangat digemari Puntadewa sulung Pandhawa. Tantangan pun diterima karena malu ketika nanti dikatakan penakut. Sok gengsi inilah menjadi awal malapetaka keluarga. Meskipun kaum kerabat mengingatkan bahaya kelicikan Sengkuni, dia tetap maju tandang di medan judi. Akibatnya, Drupadi istrinya pun menjadi korban dijadikan pelayan Kurawa. Pandhawa terbuang ke hutan mengembara belasan tahun dalam penyamaran yang tidak boleh diketahui oleh rakyatnya. Dan tentu saja diharamkan menginjak kembali tanah Hastina.

Secara mahir Sengkuni berhasil mengimplementasikan politik kotor dengan cara yang sangat tinggi. Bahkan karena tingginya, orang-orang tak bisa benar-benar yakin atas kekotoran peran Arya Sengkuni. jagad pewayangan sering menjadikan Durnalah yang lebih menonjol sebagai biang kehancuran keluarga Pandhawa. Durnalah yang dianggap sebagai wasilah bentrokan antara Pandhawa dengan Kurawa yang satu puak besar keturunan Bharata. Padahal justru Sengkunilah yang membuat Durna bersikap demikian. Durna guru besar Hastina, merupakan guru yang bertanggungjawab terhadap anak didiknya sehingga lahirlah Arjuna Sang Pemanah Pencari Cinta. Durnalah yang menjadi asbab bertemunya Bhimasena dengan Dewaruci nuraninya sendiri.

Berkat provokasi Sengkuni, kita tahu bagaimana kakak Kresna (titisan Wisnu sang pemelihara alam) yang bernama Baladewa yang berwatak brangasan terlibat katasropi 'kehidupan' seluruh wayang. Baladewa yang emosional sering terlibat pembelaan terhadap Kurawa daripada Pandhawa, termasuk ketika Duryudana yang berhasil dikalahkan Bhimasena dalam perang gada. Padahal kenetralannya sangat dibutuhkan kedua muridnya tersebut. Apalagi Kresna dan Baladewa adalah sepupu Dewi Kunti ibunda Puntadewa, Bhimasena dan Arjuna. Demikian pula Sengkuni telah berhasil dalam memprovokasi Prabu Salya dengan menjerumuskan menjadi Panglima Perang di pihak Kurawa. Salya adalah mertua Baladewa dan Duryudana, sekaligus pamanda Nakula dan Sadewa karena kakak Dewi Madrim ibunda mereka berdua. Tentu, paman melawan keponakan tercintanya sendiri yang seharusnya mampu bertindak sebagai pihak yang netral.

Belum lagi dengan tindakan liciknya memanfaatkan rasa nasionalis yang dimiliki Adipati Karna untuk melawan adiknya sendiri, Resi Bisma dari Talkandha melawan cucunya sendiri, dan Begawan Krepa melawan siswa-siswanya sendiri. dan, Durna menjadi kambing hitam punahnya 'marga' Bharata mungkin paralel dengan apa yang terjadi di negeri ini. Mudah sekali manusia Indonesia terprovokasi, menjadi teroris yang bercita-cita bertemu 72 bidadari surga namun dengan cara haram melakukan bom bunuh diri. Membenci pemeluk agama lainnya tanpa mau memupuk dirinya dengan ilmu agamanya sendiri secara benar. Seperti yang terjadi di Ambon atau Maluku dan Poso. Membenci etnis lainnya seperti yang terjadi di Aceh dan Papua yang mengganggap etnis Jawa telah menjajahnya. Disintregrasi telah terjadi dengan mulai lepasnya Timor Lorosae menjadi negara baru Timor Leste.

Maka ketika semua orang sibuk menunjuk-nunjuk Pendita Durna, sibuk mencibir nasionalisme Karna, dan Resi Bisma, sibuk mengejek emosionalitasnya Baladewa, sibuk menggunjing ketidaktegasan Salya dan kebrahmanaan Krepa yang tidak netral, diam-diam para Sengkuni itu tersenyum menikmati proses kehancuran yang sedang meruyak di papua dan Indoensia pada umumnya. Kecerobohan masyarakat yang terlanjur mencap pihak tertentu itu justru membatasi kewaspadaan nalar untuk mencermati gerakan para Sengkuni yang memang cerdas beralih rupa dan mengganti identitas.

Atau barangkali tanpa kita sadari sering ngudarasa, wadul alias berkeluh kesah masalah ini pada para Sengkuni realis yang kita anggap maharesi dan mahapatih bijak yang bisa menuntaskan persoalan. Waspada haruslah dilakukan dengan memulai diri kita sendiri memberikan keputusan besar untuk bangsa ini, menjadi pemuda mahapatih Gajahmada yang mempersatukan nusantara atau pemuda mahapatih Sengkuni yang memporakporandakan negeri Hastina. Menjadi pemuda yang mau berkarya atau ongkang-ongkang kaki tanpa upaya. Menjadi pemuda berprinsip dan pemimpi pewujud cita-cita atau hanya pengkhayal belaka yang mudah terprovokasi karena tanpa bekal keilmuan. Para pemuda ditahun 1928 jauh sebelum merdeka telah memilih : merajut serpihan nusantara itu menjadi ikrar Sumpah Pemuda, satu tumpah darah tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia!

Kamis, 27 Oktober 2011

Alampun Berthawaf

Peristiwa banjir di Bangkok yang bikin heboh dan bencana alam lainnya di berbagai belahan bumi ini, bersamaan dengan datangnya musim Haji 1432 H tentunya ada hikmah yang dapat menjadi bahan pelajaran bagi kita semua. Islam mengajarkan suatu sikap kosmologis -pandangan tentang cara melihat alam- yang sangat positif. Berbeda dengan pandangan kosmologi India misalnya yang kemudian diwarisi oleh agama Hindu dan Buddha. Al Qur'an menyatakan dengan tegas bahwa alam ini benar "Allah menciptakan langit dan bumi dengan seenarnya" (QS.29:44). Sebuah deklarasi yang sangat positif tentang alam. Bahkan dalam kalimat negatif pun firman Allah tentang alam juga bersubstansi positif bahwa alam tidak diciptakan "secara main-main" (QS.21:16) dan tidak pula "secara sia-sia" (QS.38:27).

Sedangkan dalam pandangan India alam ini adalah mayapada yang bersifat semu keberadaannya, sehingga pengalaman hidup juga dianggap semu. Pengalaman hidup yang serba semu ini dalam bahasa Sansekerta disebut samsara. kalau dalam bahasa Indonesia diadopsi menjadi sengsara. Bahwa pengalaman semu akan membawa ketidakbahagiaan. Pandangan ini menjadi doktrin yang membawa kesimpulan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan "lari" dari dunia ini. Ekspresi "lari" ini kemudian berupa bertapa atau dalam bahasa Arab menjadi rabbaniyah yang dilarang oleh agama Islam. Hal ini dilarang karena dalam pandangan Islam mengenai dunia ini harus optimis dan positif, sebuah keterlibatan positif dan tidak boleh lari dari dunia.

Sebuah asumsi dasar bahwa alam memang penuh hikmah dan makna. Selaras dengan alam dalam bahasa Yunani yang disebut kosmos yang artinya harmonis. Lawan katanya adalah chaos yang berarti kacau. hal ini sama dengan firman Allah Ta'ala," Tak akan kau lihat dalam ciptaan (Allah) Yang Maha Pemurah yang tidak harmonis; balikkanlah pandanganmu sekali lagi, tampak olehmu ada yang cacat?; Kemudian ulanglah pandanganmu sekali lagi; pandangan(mu) akan berbalik kepadamu, letih dan membingungkan." (QS.67:3-4). Keserasian dan keseimbangan alam ini merupakan cermin dari Penciptanya sendiri. Sesuai ayat tersebut bahwa alam diciptakan oleh Ar Rahman Tuhan yang Maha Kasih.

Dalam bahasa Arab 'alam satu akar kata dengan 'ilmun dan 'alamatun. Jadi alam merupakan alamah atau pertanda dari adanya Tuhan. Dan Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk mempelajarinya. Pelajaran untuk meninggikan dan mengagungkan Allah Ta'ala. Dia yang setelah menciptakan bumi dan langit  berfirman kepada alam," Hai kamu berdua (ruang waktu dan materi) datang kepadaKu dengan taat, atau terpaksa; " Maka keduanya (langit dan bumi) menjawab,"Ya Tuhan, kami datang dengan suka rela." Ini sebagai bukti bahwa alam itu tunduk dan patuh kepada Allah, semua alam ini adalah muslim.

Sehingga kalau manusia mengaku muslim berarti dia harus tunduk dan patuh kepada Allah Ta'ala, yang sebetulnya dia mengikuti hukum alam itu sendiri. Ketika dia tidak mau tunduk patuh kepada Allah, sama artinya dia melawan hukumnya sendiri, dan akan menimbulkan kesengsaraan. satu-satunya jalan untuk keluar dari kesengsaraan ketika di dunia adalah dengan mematuhi dan tunduk pada aturan Allah Ta'ala yang berupa wahyuNya dan yang serupa dengan wahyuNya yaitu Qur'an dan Sunnah. Bertauhid hanya kepada Tuhan yang Maha Kasih, Maha Penyayang, Maha Tinggi dan Maha Agung.

Sudah selayaknya ketika manusia  menjalankan tugasnya sebagai bagian alam untuk taat kepada Sang Pencipta. Manusia pertama Adam 'alaihis salam berthowaf bersama makhluk lainnya dulu ditempatkan disurga. Melakukan thawaf di baitul makmur mengelilingi arsy Allah. Sehingga ketika tel;ah diturunkan di bumi, tetap berlangsung ibadah thawaf ini dengan mengelilingi Ka'bah. Ini adalah salah satu rangkaian yang dilakukan oleh jama'ah haji di tanah haram.

Seluruh alam pun thawaf. Rembulan thawaf mengelilingi bumi. Bumi thawaf mengelilingi matahari. Matahari dengan seluruh tata suryanya thawaf mengelilingi galaxinya; dan seluruh galaxi sealam raya thawaf disekitar arsyNya. Allah sebagai punjer. Allah Yang Tunggal merupakan pusat dari peribadahan alam semesta. Laa ilaha illaLlah, tiada yang haq untuk disembah kecuali hanya Allah yang layak untuk diibadahi. Dengan thawaf itulah kita menyatu dengan alam semesta ini, berkeliling beribadah mencari keridhaan Tuhan Allah Ta'ala.

Sehingga gelombang air bah, meluapnya mata air dan hujan yang mengakibatkan banjir, tsunami dan bencana gempa, tanah longsor dan semburan gunung berapi, kebakaran pasar dan hutan, angin topan dan berbagai fenomena lama lainnya merupakan ayat atau pertanda. Bahwa mereka ada yang menggerakkan dan memerintahkan, mereka pun tunduk dan patuh kepada yang memerintahkannya. Masihkan manusia harus berpaling untuk tidak mau mengakuiNya dan berthawaf bersama alam raya mencari hakekatNya?

Wallahu a'lam bi ash shawab.

Rabu, 26 Oktober 2011

Rekonsiliasi

Bulan Oktober.....
Di awal bulan ini, tepatnya tanggal satu sering diperingati sebagi Hari Kesaktian Pancasila. Walaupun masih banyak perdebatan, saya tidak akan mengulasnya karena semakin menambah polemik panjang bangsa. Peristiwa pembantaian petinggi Angkatan Darat banyak sekali penafsiran. Bahkan dari tokoh-tokoh yang mengaku sebagai seorang sejarawan sekalipun, tidak ada satu kata. Itu sudah wajar!

Orba menyebutnya Gerakan 30 September (disingkat G30S) bahkan diberi garis miring PKI. Melengkapi pemberontakan PKI 1926 dan Affair Madiun 1948 yang juga masih kontroversial apakah itu mengatasnamakan PKI sebagi sebuah institusi partai politik atau perorangan. Soekarno lebih suka menyebutnya Gerakan Satu Okober (disingkat Gestok) tanpa garis miring PKI.

Pancasila disakralkan sebagai perlambang kesaktian. Dan sekarang masih dianggap sebagai ideologi negara. Negara bukan agama, dan negara bukan sekuler, istilah Didin Hafidhuddin ini negara bukan-bukan. Namun inilah negara saya, yang sangat saya cintai. Pancasila sebagai sebuah kesepakatan konstitusi tertinggi setelah kemerdekaan 17-08-1945 dimaknai dengan memanivestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesaktiannya adalah di jiwa dan nurani serta tindakan empiris warga negara Indonesia. Anak bangsa yang mendahulukan Ketuhanan Yang Maha Esa (Al Ahad), yaitu ketauhidan Tuhan dalam memanusiakan manusia agar lebih beradab, mempersatukan semua kebhinnekaan dengan tujuan kesejahteraan dan keadilan rakyat melalui permusyawaratan dan atau kemufakatan.

Menyikapi tragedi yang berhubungan dengan Pancasila tersebut, ada dua pihak yang saling merasa dirugikan. Yaitu anggota PKI dan underboownya di satu pihak, dan kaum muslimin serta nasionalis di pihak lainnya. Mantan Sekjen Gerwani, Sulami pernah membuat pernyataan bahwa pemunuhan aktifis dan simpatisan PKI melibatkan ormas NU khususnya GP Anshor melalui Banser. Demikian pula, KH Yusuf Hasyim bin Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ariy merasa mantan tokoh PKI memelintir realita di lapangan saat itu.

Diakui atau tidak bahwa korban tragedi 1965 adalah PKI dan antek-anteknya. Namun tidak sedikit rakyat yang tak tahu apa-apa, mereka menjadi korban fitnah dengan tuduhan cap PKI. Mereka adalah orang-orang kecil, rakyat jelata yang kadang karena ekspresi untuk menunjukkan rasa tidak puas tehadap keadaan di anggap mengganggu stabilitas wilayahnya, bahkan karena dendam pribadi di bantai dengan keluarga besarnya dengan sadis. Tanpa melalui sidang pengadilan. Tanpa melalui pembelaan.

Tragedi yang diakui atau tidak memang melibatkan sebagian anggota dan simpatisan PKI baik yang berada di jajaran TNI AD dan sipil. Sehingga sebagai sebuah organisasi memang selayaknya hidup di negara demokratis ini mempertanggungjawabkan konstituennya. Pemerintah ora dengan Soeharto sebagai pahlawannya juga layak dimintai pertanggungjawaban atas tindakan sewenang-wenangnya tanpa menghormati Indonesia sebagai negara hukum yang menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum negara tertinggi.

Kontroversi ini isa dilihat secara jernih. PKI dan ormas pendukungnya mesti instropeksi, melakukan kritik autokritik. Peristiwa Pra Tragedi 1965 (saya lebih enak menyebutnya demikian), seperti di Jember dapat disaksikan sendiri arogansi Pemuda Rakyat terhadap masyarakat NU. Kemudian juga di Muncar Banyuwangi, ratusan warga NU yang baru pulang dari pengajian ketika sedang naik truck dihadang dan dianiaya Pemuda Rakyat. Peristiwa berdarah seperti ini jelas mempengaruhi aktifitas masyarakat ketika menunaikan kewajibannya beragama di negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia yang merupakan organisasi mantel PKI (demikian adanya dilapangan!) memaksa kehendak dengan mematoki tanah wakaf absente dan tanah milik warga NU di Tanggul Jember dengan dalih penerapan UU Pokok Agraria dan UU Bagi Hasil. Aksi sepihak ini juga menewaskan beberapa tokoh NU setelah diculik dan dipaksa menyerahkan tanahnya, mereka dianggap setan desa, Akhirnya anarki ini memicu bentrokan fisik. Militer waktu itu tak berdaya menjaga keselamatan dan ketertiban serta keamanan negara khususnya menghadapi aksi brutal simpatisan PKI. Maka tak heran KH Yusuf Hasyim membentuk Barisan Serba Guna (Banser) GP Anshor.

Tentunya, beliau sangat memahami bahwa membunuh orang lain termasuk komunis adalah tidak benar tanpa ada alasan yang jelas karena sebagai umat beragama yang menjunjung tinggi norma agama, norma hukum dan HAM. Mereka tahu yang berhak untuk mencabut nyawa adalah pemilik makhluk yaitu Allah Ta'ala, baik secara langsung ataupun melalui tangan para penguasa yang menjadi bayang-bayang Tuhan di bumi. Yang terakhir inipun harus melalui proses hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka, kalau kemudian terjadi saling bunuh antara Banser dan PKI, itu lebih disebabkan kondisi masyarakat yang anarkis. Situasinya seperti perang yang sangat sulit membedakan mana kawan dan lawan. Apalagi agitasi dan provokasi terus berlangsung, dan dalam upaya pembelaan diri maka jatuhnya korban jiwa dalam skala masif sulit dihindari.

Konflik yang sebenarnya hanya vertikal di tingkat elit, tampaknya sengaja digunakan pihak tertentu (bisa dalam negeri dan luar negeri) untuk membenturkan tingkat akar rumput. Konflik meluas menjadi konflik horizontal di tingkat massa dengan memanfaatkan psikologis masyarakat orde lama dibawah garis kemiskinan, diadu terus dan dibakar emosinya melalui agitasi dan provokasi. Nah yang tepuk tangan dan menikmati hasilnya justru puhak lain yang kemudian menjadi penguasa di era orde baru. Sedang umat Islam dan PKI menjadi babak belur. PKI ditumpas sebagai partai terlarang dan ajaran terlarang serta dijadikan stigma. Komunisme dianggap bahaya laten kiri. Sedangkan umat Islam dipinggirkan perannya dari pentas perpolitikan serta kekuasaan negeri ini. Diancam dan di anggap sebagai bahaya laten kanan.

Herannya sekarang di era reformasi, mengapa seolah-olah yang menjadi korban hanya PKI dan ormas-ormas pendukungnya. Inilah yang selalu diangkat kepermukaan oleh pembela dan pejuang HAM. Sementara ratusan dan bahkan ribuan nyawa umat Islam masa orla yang dibantai PKI, korban jiwa masa orde baru dalam sekian tragedi berdarah seperti di Priok, Peristiwa Maluku dan Poso, DOM di Aceh kurang mendapat perhatian umum. Adilkah?

Sehingga upaya rekonsiliasi antara umat Islam, keturunan petinggi dan simpatisan PKI serta militer dapat duduk bersama-sama dengan dasar i'tikad baik menghapuskan luka lama guna mewujudkan rekonsiliasi nasional. Bukannya justru untuk mencari peluang balas dendam yang justru akan mencabik keutuhan bangsa yang kini terancam disintegrasi, seperti di Papua. Terlebih untuk meluruskan perjalanan sejarah yang bengkok. Tengara banyak pihak tentang manipulasi sejarah rezim Soeharto, boleh jadi ada benarnya. raibnya Supersemar pun masih menajdi sebuah kecelakaan besar bangsa ini. Pelurusan ini penting agar generasi penerus bisa belajar tak mengulangi pengalaman pahit di masa silam.

Bahkan Lebih Jelek!

Kita ganyang status quo! Kita hadang status quo! Kira-kira begitulah jika ungkapan-ungkapan, aktifitas-aktifitas, atau manuver-manuver orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai proreformasi diterjemahkan dalam kalimat-kalimat singkat. Ya, apakah status quo merupakan makhluk yang sangat menakutkan? Status quo dipahami sebagai kemapanan, kondisi tidak ada perubahan, atau menurut KBBI diartikan keadaan dewasa ini. Dewasa ini maksudnya adalah orba waktu itu, jadi kalau sekarang tentunya ya dimaknai orang-orang yang ingin mempertahankan dan atau mengembalikan kejayaan orde baru.

Orba banyak direpresentasikan sebagai sebuah kekuasaan yang penuh dengan penyimpangan, penyelewengan dan kesewenang-wenangan. Ada kementerian pendidikan dan kebudayaan, bukannya menggulirkan pendidikan ke arah kecerdasan politik malah memberangus gerakan, cetusan, bisikan, bahkan sekedar angan-anagan untuk "memerdekakan" diri. Segala upaya untuk mengekspresikan jati diri selalu dicurigai sebagai gerakan yang mengancam stabilitas nasional dan dituduh anti Pancasila. Hal tersebut pernah saya alami langsung, dalam bentuk penculikan, penganiayaan fisik serta mental walau akhirnya "dilepaskan" begitu saja dengan alasan salah tangkap, padahal mereka tidak mempunyai bukti cukup ketika saya melawannya dengan bukti-bukti yang jelas. Allahlah tempat kita bersandar!

Kejahatan orba lebih menonjol dan mengerikan di bidang politik dibandingkan kejahatan di bidang ekonomi. Sehingga layaklah sekarang banyak yang meminta kembali seperti jaman orba karena masyarakat belum puas dalam pembangunan ekonomi dewasa ini. Masyarakat perlu disadarkan bahwa kelumpuhan hak-hak politik akan membawa mereka pada kelumpuhan hak-hak lainnya yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi lebih-lebih hak kepemimpinan.

Namun ada satu catatan penting yang obyektif, yang berbahaya sebenarnya kemapanannya atau perilaku otoriternya? Kira-kira siapapun yang mendeklarasikan diri sebagai proreformasi dan anti status quo (nota bene temen-temen saya sendiri) yang sekarang banyak menjadi penguasa itu mampu memberikan perubahan di era kini. Apakah mampu mensejahterakan, menegakkan keadilan dan mengayomi rakyat ketika sedang berkuasa? Bisakah mereka tidak bertindak otoriter saat memegang kendali negeri ini? Bisakah untuk jujur dan merubah Indonesia dengan hati jernih dan pikiran yang dingin, tanpa korupsi dan kepentingan golongannya saja? Mereka kini jadi anggota dewan terhormat, jadi pegawai pangreh praja, jadi penguasa wilayah kabupaten, jadi pengendali hukum...

Janganlah kita mengaku cinta Qur'an dan Sunnah jika tidak mampu berusaha menangkap rambu-rambu hikmah dari keduanya. Ada empat rambu-rambu tersebut :
1. Yang mencintai anarki tidak mungkin dapat menebar kesejahteraan kepada rakyat saat berkuasa. Cobalah lihat kawan-kawan semua, massa sebuah partai atau ormas begitu akrab berperilaku hura-hura dan huru hara. Ini sebuah indikasi bahwa petinggi partai atau ormas tahu perilaku pendukungnya tetapi sengaja membiarkan dan tidak memperingatkannya, berarti dapat disimpulkan begitulah karakter, corak perjuangan atau platform organisasinya. Payah! Bagaimana mereka nanti jadi penguasa ketika masih belum punya kekuasaan saja seperti itu. Kemungkinan lain, petinggi parpol atau ormas itu tak mampu mengendalikan massa atau konstituennya walaupun sudah sedemikian rupa dinasehati. Wah, ini juga ngeri! Bagaiman mereka jika sudah jadi pemegang kekuasaan, pasti akan tersandera oleh konstituennya sendiri. Belum berkuasa saja tak mampu mengendalikan kelakuan punggawanya, tentunya ketika berkuasa lebih tak berdaya karena takut. Atau mungkin elit parpol atau ormas tersebut sama sekali tidak tahu kalau massanya bertindak brutal. Lalu, mana mungkin mereka mampu mendengar, melihat dan memperhatikan penderitaan rakyat lebih banyak, terutama diluar konstituennya ketika mereka nanti berkuasa.
2. Siapapun yang berani mengorbankan "kepentingan" Allah Ta'ala, tentunya pasti tidak akan segan-segan mengorbankan kepentingan manusia. Siapapun yang menggunakan ayat-ayatNya sekehendak perutnya sendiri, pasti akan mempermainkan hak-hak manusia. Siapapun yang berbeda pandangan dengannya dituduh sektarian atau fundamentalis, justru inilah neo orde baru.
3. Semua insan di Indonesia tercinta harus terus menerus membangun hubungan dengan Allah Ta'ala, membina diri agar terus dekat denganNya dan mengemban amanat manusia. Jika seseorang mendidik diri serta keluarga dan masyarakat sekitarnya untuk siap berjuang dengan nyawa dan harta, maka sudah pasti tidak akan mau menjarah (baca:korupsi) milik orang lain. Jika bertentangan dengan ini maka dia duplikat orde baru.

Bagaimana reformasi tanpa pijakan wahyu Ilahi? Hanya akan memperbaiki cara mengintimidasi agar lebih kuat membungkam, gaya menyiksa agar lebih menyakitkan dan kiat memanipulasi kebenaran agar lebih sulit diungkap. jadi orde reformasi berpeluang sama dengan orde baru, bal hum adhall*.
Semoga bermanfaat, astaghfirullah wahuwa 'ala kulli syai'in qadir.


*Bahkan, lebih jelek!

Berkurbanlah!

Dalam ajaran agama Islam, kewajiban berkurban bagi pemeluknya adalah sesuatu yang sangat penting bagi umat manusia. Cobalah kita pikirkan bersama, setiap ibadah kepada Allah ta'ala selalu terkandung didalamnya dimensi sosial dan anjuran untuk melakukan pengurbanan. Pengurbanan dapat bersifat ringan maupun berat, namun bisa dipastikan setiap ibadah pasti mengandung pengurbanan bagi akum beriman. Dan siang hari tadi di Kota Rembang diberangkatkan rombongan jama'ah calon haji, juga meningatkan tentang arti penting pengurbanan. Haji, zakat dan ibadah lainnya didalamnya mengandung perintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat madani.

Dimensi sosial yang dimiliki perintah zakat adalah hikmah pemerataan dan kesejahteraan sosial. Dari yang kaya diminta hak untuk yang miskin. Ibadah hajipun demikian, mengurbankan waktu, harta benda dan segala resiko yang lainnya. Dengan haji terjadi suatu arus sosial dan ekonomi yang sangat besar karena semakin besar volume hujaj (jama'ah haji), maka semakin besar arus sosial yang ada. Dan tidak kalah pentingnya ada perintah bagi jama'ah haji maupun kaum muslimin yang mampu untuk berqurban menyembelih hewan korban.

Sebagai bahan renungan secara kontemplatif, pengorbanan hewan ternak untuk dibagikan kepada faqir miskin ini lebih ringan sebenarnya. Yang selanjutnya adalah follow up dari pengorbanan itu berupa jihad fi sabilillah. Anda jangan kaget dan takut ketika mendengar kata tersebut. Baca terlebih dahulu catatan ini. Ungkapan jihad sekarang sering dihindari karena takut di cap teroris, Islam radikal, anarkis dan sejenisnya. Ini merupakan upaya untuk menghilangkan kosakata penting bagi kaum muslimin. Jihad adalah perjuangan dan pengorbanan terbesar. Jihad dalam arti luas dengan melakukan perang total terhadap tenaga, waktu, pikiran dan sampai kemungkinan mengurbankan nyawa untuk menegakkan kebenaran.

Oleh karena itulah, Islam sendiri sebenarnya merupakan agama yang sangat menggarisbawahi jihad dalam arti perangh total dengan mengerahkan segala waktu, tenaga dan pikiran serta harta benda untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks inilah hari raya haji sebagai idhul qurban agar lebih mendalami makna dan dimensi korban itu dalam agama Islam. Masihkah anda alergi dengan Jihad fi sabilillah?

Sesungguhnya agama-agama yang lainnya pastilah juga mempunyai ajaran yang mendidik dan membiasakan pemeluknya agar selalu sanggup berkurban untuk kepentingan orang banyak. Korban dalam artian yang paling sederhana adalah dengan memangkas kepentingannya sendiri demi kesejahteraan dan kepentingan umum. Dalam kondisi Indonesia yang terkini, sebagai umat Islam tentunya dimensi berkorban harus diejawantahkan ke dalam tindakan nyata. Masih begitu banyak saudara-saudara sebangsa setanah air yang membutuhkan uluran tangan. Sahabat-sahabat kecil kita waktu sekolah masih banyak yang membutuhkan uluran tangan karena belum mampu bekerja mandiri. Sekaranglah saatnya tampil untuk melaksanakan perintah agama.

Ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk berkurban :
Pertama, pengorbanan materiil. Bagi yang mempunyai pendapatan lebih melimpah, pas-pasan bahkan mungkin selalu merasa kurang dan sempitpun harus menyisihkan sebagian rezeki untuk menolong mereka yang mengalami deprivasi sosial ekonomi yang sangat memilukan sehingga dapat hidup dengan wajar. Bisa saja itu berupa kail, dengan dididik cara mengail yang  benar dan baik insyaAllah akan mendapatkan ikan sehingga kehidupannya menjadi lebih wajar.
Kedua, pengorbanan waktu, tenaga dan mental. Kita ambil contoh, pengorbanan yang dilakukan oleh para prajurit yang berada di perbatasan terluar negara kita. Last but not least, tentu adalah pengorbanan nyawa kita masing-masing untuk berani menghadapi angkara murka dan makhluk-makhluk yang wujudnya manusia namun hakekatnya adalah berjiwa iblis.
Ketiga, tatkala melaksanakan kewajiban berkurban bukan semata-mata tugas dan kewajiban duniawi namun melaksanakan kewajiban agamanya. Sehingga janganlah gamang dalam menghadapi suatu konspirasi yang mewakili kepentingan iblis, karena kita mewakili kepentingan kemanusiaan.
Semoga bermanfaat.

Lidahmu!

Kalau misalnya anda berminat jadi politisi-dengarkan nasehat ini-"berlatihlah menjaga kelenturan lidah". Soalnya, masa depan, karier dan keselamatan ternyata lebih banyak "bergantung" kepada lidah anda. Kalau anda salah ucap, anda mesti terampil untuk meralatnya dengan retorika seanggun mungkin. Sehingga dengan rasionalisasi itu, anda tetap tercitra sebagai politisi "kelas tinggi". Bukankah salah satu "ciri" mereka adalah memiliki kualitas kelicinan belut? Atau jika anda mau tetap selamat, maka harus pintar dan terampil me-manage gerak lidah anda. Bikin pernyataan-pernyataan yang samar dan ngambang, meskipun sesungguhnya anda dituntut untuk bikin pernyataan yang gamblang. Dengan begitu anda bisa terhindar dari "vonis sejarah", jika misalnya keadaan berbalik.

Lidah, ternyata bukan sekedar alat untuk mencecap. Lidah juga bisa menjadi alat produksi pernyataan-pernyataan politik, yang disetel sesuai dengan keadaan cuaca. Aturlah gerak lidah anda sesuai dengan angin bertiup. Untuk itu, anda tidak perlu malu di cap sebagai "politikus petualang" yang tidak mempunyai konsistensi. Bukankah anda bisa berdalih bahwa dalam politik "tidak dikenal" konsistensi, melainkan kepentingan? Ya, demi kepentingan pula akhirnya anda mengorbankan apa saja. Termasuk harga diri anda.

Karena kadar rasa malu sosial kita yang semakin menipis, maka anda tak perlu sungkan-sungkan untuk menjilat ludah sendiri. Bukankah ludah tak lebih sekedar iler, yang jauh tak lebih penting dari kepentingan? Bukankah setiap saat tubuh kita mampu memproduksi ludah sebanyak-banyaknya? Sehingga tidak perlu eman-eman atau sayang untuk membuangnya bahkan menarik kembali. Karena itu anda tak perlu cemas hanya karena akan di cap sebagai politisi "plin-plan", "tidak etis" bahkan tak bermoral atau politisi hitam. Anda pun berdalih, plin-plan menurut siapa? Tidak etis menurut siapa? Tidak bermoral menurut siapa? Bukankah setiap persoalan memiliki logikanya sendiri, memiliki etikanya sendiri dan memiliki moralnya sendiri? Tergantung darimana anda melihatnya. Itulah rasionalisasi yang bisa menghibur anda. Sehingga anda bisa menghindar (bukan terhindar) dari rasa bersalah.

Bukankah rasa bersalah dan rasa berdosa hanya dimiliki orang jujur. Padahal sejak anda memilih karier menjadi politisi "sudah berjanji" membunuh kejujuran itu. Sebab, kejujuran (hampir selalu) menjadi perintang untuk meraih kepentingan baik material maupun non material. Dengan tekad bulat untuk mendepak kejujuran, andapun tidak gelisah lagi untuk di cap sebagai politisi hipokrit, munafik. Bukankah kehidupan sekarang sudah terlatih untuk salah kaprah memahami bahwa hipokrisi merupakan bagian integral dari politik(us)? Lantas dimana letak kejujuran, integritas dan kecemerlangan otak bagi seorang politikus?

Bukankah politisi merupakan sebuah peran sosial yang berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan bersama, kepentingan bangsa, dimana peran itu disangga pilar-pilar kejujuran, integritas dan kapasitas kemampuan? Jika anda nekat untuk memilih menjadi politisi sejati, maka anda harus rela meletakkan nilai-nilai ideal dan kapasitas kemampuan itu menjadi dasar perjuangan. Maka berbagai resiko harus siap diambil, misalnya dicopot dari jabatan anda, disingkirkan, diintimidasi, diteror, bahkan "dilenyapkan". Ini memang pilihan pahit.

Saudaraku, bagaimana anda memilih modus eksistensinya. Menurut Erich Fromm ada dua modus yaitu modus "memiliki" atau posisi "menjadi". Kalau anda sekedar ingin "memiliki", maka anda akan menyikapi peran sosial anda sebagai cara atau jalan untuk "mendapatkan" berbagai kepentingan pribadi, misalnya kekayaan dan jabatan. Tapi kalau anda memilih untuk "menjadi", maka anda akan menjadikan peran sosial tersebut sebagai jalan anda untuk menempa dan mengolah kepribadian serta watak. Sehingga anda mampu mencapai puncak eksistensi yang lebih tinggi. Karena anda memilih peran sebagai politikus bukan untuk mencari kekayaan dan kekuasaan gebyar duniawi. Melainkan menjadi Manusia (sengaja dengan M besar) yang mampu memahami bahwa setiap peran sosial dan setiap fungsi adalah amanah untuk mensejahterakan kehidupan bersama. Kehidupan yang berporos pada asas ketauhidan, keadilan, demokrasi dan hal-hal mulia lainnya.

Sungguh celaka, kita ini kurang terlatih dan terdidik untuk mengapresiasi hal-hal yang "luhur dan mulia". Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata-kata itu pun lidah kita mendadak terasa kelu. Keluhuran dan kemuliaan kini menjadi wacana minoritas dalan ranah kognitif maupun afektif kita. Disket keluhuran dan kemuliaan baru kita pakai, ketika harus menjaga citra diri untuk disebut jujur, adil, demokratis dan selanjutnya. Padahal kita tahu dan sadar bahwa kata-kata bukan hanya berhenti sebagai ungkapan verbal belaka, bukan sebuah realita empiris. Ya, alangkah jauhnya antara letak lidah dari hati nurani dan akal sehat kita. Hati nurani, dan akal sehat setiap detak jantung selalu digempur dengan dahsyatnya agar jalan untuk mencapai "kepentingan jangka pendek" bisa rata, mulus tanpa penghalang dan perintang.

Grenengan Guru Sejarah

Sejak tidak berkiprah di dunia pendidikan formal, saya kangen salah satu mata pelajaran favorit sejak SD sampai SMA. Bahkan ketika mengajar di SMP Al Manaar pun memegang mata pelajaran yang kurang disuka banyak siswa. Betul tebakan anda, SEJARAH!

Dalam survey yang dilakukan guru BP terhadap minat anak didik terhadap mata pelajaran di sekolah tempat saya mendidik, alhamdulillah pelajaran Sejarah mendapat juara pertama ganda bersama Olah Raga. Huahaha... Namun ini bukanlah saya anggap berhasil membuat anak-anak suka sejarah, tujuan pelajaran sejarah adalah untuk memberikan pengetahuan dan memberi nilai. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Di situ tidak ada penegasan bahwa pengajaran sejarah untuk melakukan penafsiran faktual bagi kepentingan seseorang atau kekuasaan golongan. Sebuah dosa besar jika pelajaran sejarah diberikan untuk tujuan melanggengkan dan menegakkan sebuah kekuasaan. Saya selalu menekankan kepada siswa-siswi agar jangan hanya belajar sejarah saja namun belajarlah dari sejarah.

Pelajaran sejarah dari SD sampai SMA sebaiknya memang terintegrasi dengan tujuan si anak mengetahui dan memahami proses berbangsa dan bernegara sehingga mereka menikmati hasilnya seperti sekarang. Tidak ada sesuatu yang mak bedunduk jadi. Semua melalui sebuah proses, proses pergumulan yang dahsyat luar biasa. Dan dimana semua peristiwa yang terjadi, bangsanya terlibat baik dalam pengertian positif dan negatif. Ini sebuah obyektivitas yang harus disampaikan kepada para pelajar kita. Inovasi dan kreatifitas dalam mengajar sejarah membuat mereka akan tertarik dan kemudian tereksplorasilah pemikiran-pemikiran jernih untuk membawa perubahan bagi bangsanya di masa depan. Mungkin gaya itulah yang membuat mereka selalu menunggu pelajaran saya, up to date, dapat dipertanggungjawabkan, sedikit ada 'ngakaknya' atawa menghibur dan disiplin logis!

Materi yang selama ini saya lihat di kurikulum masih pola sejarah kolonial. Buku-buku pelajaran sejarah hanya mengganti hal-hal yang bersifat kolonial menjadi bersifat nasional. Jadi cuma dibalik, sedang pola tetap sama. Sehingga hal tersebut mestinya pihak pemangku kebijakan di pusat harus segera merubahnya. Kemudian dalam menyampaikan sejarah harus juga memberitahukan anak tentang sosiologi, anthropologi, dan geografi. Tidak terpisah-pisah sebagaimana seperti selama ini. Dari geografi kita tahu perut bumi Papua itu mengandung apa saja, sehingga mereka tidak gegabah dalam menambangnya. Demikian pula di Borneo atau Kalimantan ketika belajar tentang hutan dan anggrek hitam serta orangutannya, jadi tidak semena-mena menebanghabiskan kayunya, memburu flora faunanya hingga punah. Bahkan kadang saya ketika menyampaikan tentang Perang Atjeh harus rela menggambar peta gerilya Cut Nya' Dhien di papan tulis. Mengapa tidak menggunakan peta baku, hanya menunjukkan kepada siswa harus paham bukan sekedar manja pada peraga. Para murid harus tahu proses itu!

Ketika mengenal etnis satu dengan etnis lainnya yang sangat beragam adat istiadatnya, anak-anak dipersiapkan memahami arti kebersamaan. Makna kebhinnekaan, beda budaya, beda bentang alamnya dan beda sejarahnya. Namun tidak sampai disitu, bagaiman proses bersama itu terjadi sangat panjang sehingga terbentuk sebuah bangsa. Disinilah ada sejarah, disinilah ada anthropologi, disinilah ada sosiologi dan disinilah ada geografi. Banyak diantara rekan guru yang belum menerapkan keintegrasian semacam itu, dan korelasi sejarah masa lalu dengan kemasakinian. Akhirnya mereka para murid merasa bosan. Bahkan ada guru yang pernah nanya ke saya, tentang buku sejarah begitu banyak di koleksi perpustakaan pribadi yang sekarang menjadi Taman Bacaan Rakyat. Dia bilang," Pak Aan itu guru apa murid?" Maksudnya guru itu dianggap sudah tidak perlu buku alias sudah pinter dan tak perlu belajar serta baca buku-buku lagi. Aneh!

Belum lagi banyak buku-buku sejarah yang saya baca hanya menyesatkan karena kesalahan faktual. Kemudian adapula yang hanya menokohkan seseorang saja seagai aktor tunggal dengan kepahlawanannya tanpa pengupasan kekurangannya sebagai manusia biasa yang mempunyai kekurangan. Mestinya obyektivitas dikedepankan, seperti dalam kasus orde baru. Soeharto sangat sukses melaksanakan proses pembangunan infrastruktur dan ekonomi selama 32 tahun namun juga disampaikan bahwa dalam proses perjalanan itu ada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ini semua sinambung dan disampaikan secara utuh.

Sejarah adalah sebuah ilmu yang selalu terbuka bagi penulisan ulang karena ia tidak berhenti pada satu titik tertentu. Ketika ditemukan data dan fakta baru yang lebih akurat dan valid maka berkembanglah sejarah itu atau direvisilah sejarah. Sejarah adalah dialog tanpa akhir, argumen tanpa akhir, dan guru harus mengatakan itu kepada anak. Sejarah nasional juga mestinya guru menyampaikan secara arif dan bijaksana dengan memperhatikan sejarah lokal. Misalnya, bagi siswa Papua lebih ditekankan tentang perjuangan Silas Papare, Elizer Bonay dan Frans Kaisiepo dengan prosentase yang lebih dibandingkan dengan Tuanku Imam Bonjol dan Diponegoro yang jauh dari kultur mereka.

Yang membedakan guru kita dengan guru sejarah di negara lain adalah akurasi data-datanya. Pelajaran sejarah memang sudah diteliti, dibakukan dan resmi. Buku-buku acuannya banyak dan detail referensinya. Sedangkan guru kita masih mengandalkan satu buku kurikulum yang bisa jadi anak disuruh fotocopy, mencatat dan diterangkan seadanya secara tekstual. Padahal buku-buku sejarah kita masih berpola kolonial. Sejarah perang dan tokoh, itu berarti sejarah politik kekuasaan. Bukan sejarah sosial seperti bagaiman dulu rakyat berjuang. Kita termasuk bangsa yang sering teledor dan tidak menghargai sejarah. Hal ini terlihat miskinnya dokumentasi bersejarah, hanya ada khayalan karangan dan dongeng saja. Padahal Al Qur'an di dalamnya memberikan contoh kisah-kisah nyata yang menakjubkan dengan data lapangan yang akurat.

Selamat menjadi pelaku sejarah!

Senin, 24 Oktober 2011

Derby Manchester

Permainan derby seperti biasa sangatlah istimewa, dan tentunya antara Manchester United dengan Manchester City hari Minggu tanggal 23 Oktober 2011 di Old Trafford. Sementara The Red Devils berada pada posisi ke-2 dengan 20 point dan The Citizens berada pada peringkat teratas dengan selisih dua point diatas rival sekotanya. hal ini juga berlaku bagi pertandingan bersejarah antara Barca dengan Real Madrid di La Liga, dan AC Milan dan Inter di Seri A Italia. Sebagai tim tamu, tentunya The Citizens bermain lepas tanpa beban, dan demikian juga tim asuhan Alex Ferguson tentunya bermain ngotot sebagai tuan rumah. Bertahta dipuncak merupakan keunggulan tersendiri bagi tim asuhan Roberto Mancini ini, sehingga membuat lebih percaya diri.

Kekalahan telak untuk Iblis Merah di kandang sendiri musim ini sudah dapat diprediksi dalam catatan saya sebelumnya. Sedangkan tim Biru Langit selalu dianggap tim kelas kedua, kesebelasan yang selalu dianggap sebagai 'tetangga yang berisik' ini bangkit menjadi misil mematikan. Pemain belakang MU kesulitan meredam umpan formasi segitiga antara Silva, Milner, Balotelli, ditambah di babak kedua diperkuat lagi oleh Samir Nasri dan Dzeko. Rooney dkk dibuat tak berkutik, ditambah Joe Hart sebagai kiper yang memperkuat pertahanan The Citizens semakin gemilang. Kiper Inggris tersebut meraih Sarung Tangan Emas setelah berhasil mengosongkan gawangnya dari gol di 17 pertandingan dan membuat rekor tak kebobolan pada 29 laga di semua kompetisi.

Dominasi MU di awal pertandingan berbalik saat Balotelli mencetak gol pada menit ke-22.  Mario Balotelli melakukan selebrasi dengan membuka kostumnya yang buatkan Les Chappy dengan tulisan "Kenapa Selalu Saya?". Pemain yang dijuluki bad boy ini cukup bermain gemilang dengan gol pembukanya, dan memperkokoh timnya dipuncak Klasemen Liga Primer. Hingga turun minum skor tak berubah 1-0 untuk City. Pelajaran yang cukup menarik, namun luput dari perhatian MU. Bahwa Balotelli dapat menjadi salah satu asbab kekalahan tim lawan, ketika dia dierikan 'umpan panas' maka seperti menarik pelatuk senapan dan berbunyi," Doooorrr!!!".

Di babak kedua sial bagi John Evans yang terkena kartu merah di menit ke-47. Ia kedapatan menarik tangan Balotelli. Huahahaha....ini sebuah pertanda bahwa pemuda sangat berarti dalam kelanjutan sebuah perjuangan. Jika pemuda tidak mendapatkan prioritas dalam kesempatan memperjuangkan sesuatu, apalagi dikeluarkan dari laga peperangan resikonya adalah sebuah kekalahan. Kekalahan besar nan memalukan semakin menambah keterpurukan dikarenakan mengabaikan rahmat Allah. Maka sudah semestinya setiap kemenangan selalu dikatakan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. John yang bermakna 'Hadiah dari Kebaikan Tuhan' dan Evans yang bermakna 'Prajurit Muda' di buang keluar lapangan, menjadi asbab datangnya gol bagi City yang bertubi-tubi. Sekali lagi Balotelli mencetak gol kedua pada menit ke-60. Lalu Aguero menambah gol pada menit ke-69 (lagi-lagi menit 69, huahaha!).

Sebuah gol hiburan untuk MU saat Fletcher berhasil mencetak gol pada menit ke 81. Biru Langit berkali-kali menggagalkan serangan The Red Devils dan berbalik menyerang cepat, yang membuahkan tiga gol lagi. Dua gol dicetak Dzeko pada menit perpanjangan waktu dan satu gol oleh David Silva. Wayne Rooney, Nani, Javier Hernandez, dkk benar-benar kewalahan menyerang pertahanan The Citizens. Hal itulah yang memotivasi bek kanan City, Micah Richards untuk membantu timnya yang selalu dicibir gagal meraih gelar Liga Inggris dalam 35 tahun. Pertandingan menjadi milik 'tetangga yang berisik' dengan pesta gol di papan skor dan di lapangan hijau tentunya. Ketangguhan Sergio Aguero masih selalu mendapatkan ujian dan terus harus dibuktikan karena bumi itu berputar. Selamat bertemu lagi pada 28 April 2012....

Pesan Moral: Jangan engkau buang rahmat Tuhan dan gandenglah prajurit-prajurit muda dalam perjuangan menggapai impian.