Selamat datang....

Semoga setelah membaca perasaan anda menjadi PLONG!

Rabu, 26 Oktober 2011

Lidahmu!

Kalau misalnya anda berminat jadi politisi-dengarkan nasehat ini-"berlatihlah menjaga kelenturan lidah". Soalnya, masa depan, karier dan keselamatan ternyata lebih banyak "bergantung" kepada lidah anda. Kalau anda salah ucap, anda mesti terampil untuk meralatnya dengan retorika seanggun mungkin. Sehingga dengan rasionalisasi itu, anda tetap tercitra sebagai politisi "kelas tinggi". Bukankah salah satu "ciri" mereka adalah memiliki kualitas kelicinan belut? Atau jika anda mau tetap selamat, maka harus pintar dan terampil me-manage gerak lidah anda. Bikin pernyataan-pernyataan yang samar dan ngambang, meskipun sesungguhnya anda dituntut untuk bikin pernyataan yang gamblang. Dengan begitu anda bisa terhindar dari "vonis sejarah", jika misalnya keadaan berbalik.

Lidah, ternyata bukan sekedar alat untuk mencecap. Lidah juga bisa menjadi alat produksi pernyataan-pernyataan politik, yang disetel sesuai dengan keadaan cuaca. Aturlah gerak lidah anda sesuai dengan angin bertiup. Untuk itu, anda tidak perlu malu di cap sebagai "politikus petualang" yang tidak mempunyai konsistensi. Bukankah anda bisa berdalih bahwa dalam politik "tidak dikenal" konsistensi, melainkan kepentingan? Ya, demi kepentingan pula akhirnya anda mengorbankan apa saja. Termasuk harga diri anda.

Karena kadar rasa malu sosial kita yang semakin menipis, maka anda tak perlu sungkan-sungkan untuk menjilat ludah sendiri. Bukankah ludah tak lebih sekedar iler, yang jauh tak lebih penting dari kepentingan? Bukankah setiap saat tubuh kita mampu memproduksi ludah sebanyak-banyaknya? Sehingga tidak perlu eman-eman atau sayang untuk membuangnya bahkan menarik kembali. Karena itu anda tak perlu cemas hanya karena akan di cap sebagai politisi "plin-plan", "tidak etis" bahkan tak bermoral atau politisi hitam. Anda pun berdalih, plin-plan menurut siapa? Tidak etis menurut siapa? Tidak bermoral menurut siapa? Bukankah setiap persoalan memiliki logikanya sendiri, memiliki etikanya sendiri dan memiliki moralnya sendiri? Tergantung darimana anda melihatnya. Itulah rasionalisasi yang bisa menghibur anda. Sehingga anda bisa menghindar (bukan terhindar) dari rasa bersalah.

Bukankah rasa bersalah dan rasa berdosa hanya dimiliki orang jujur. Padahal sejak anda memilih karier menjadi politisi "sudah berjanji" membunuh kejujuran itu. Sebab, kejujuran (hampir selalu) menjadi perintang untuk meraih kepentingan baik material maupun non material. Dengan tekad bulat untuk mendepak kejujuran, andapun tidak gelisah lagi untuk di cap sebagai politisi hipokrit, munafik. Bukankah kehidupan sekarang sudah terlatih untuk salah kaprah memahami bahwa hipokrisi merupakan bagian integral dari politik(us)? Lantas dimana letak kejujuran, integritas dan kecemerlangan otak bagi seorang politikus?

Bukankah politisi merupakan sebuah peran sosial yang berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan bersama, kepentingan bangsa, dimana peran itu disangga pilar-pilar kejujuran, integritas dan kapasitas kemampuan? Jika anda nekat untuk memilih menjadi politisi sejati, maka anda harus rela meletakkan nilai-nilai ideal dan kapasitas kemampuan itu menjadi dasar perjuangan. Maka berbagai resiko harus siap diambil, misalnya dicopot dari jabatan anda, disingkirkan, diintimidasi, diteror, bahkan "dilenyapkan". Ini memang pilihan pahit.

Saudaraku, bagaimana anda memilih modus eksistensinya. Menurut Erich Fromm ada dua modus yaitu modus "memiliki" atau posisi "menjadi". Kalau anda sekedar ingin "memiliki", maka anda akan menyikapi peran sosial anda sebagai cara atau jalan untuk "mendapatkan" berbagai kepentingan pribadi, misalnya kekayaan dan jabatan. Tapi kalau anda memilih untuk "menjadi", maka anda akan menjadikan peran sosial tersebut sebagai jalan anda untuk menempa dan mengolah kepribadian serta watak. Sehingga anda mampu mencapai puncak eksistensi yang lebih tinggi. Karena anda memilih peran sebagai politikus bukan untuk mencari kekayaan dan kekuasaan gebyar duniawi. Melainkan menjadi Manusia (sengaja dengan M besar) yang mampu memahami bahwa setiap peran sosial dan setiap fungsi adalah amanah untuk mensejahterakan kehidupan bersama. Kehidupan yang berporos pada asas ketauhidan, keadilan, demokrasi dan hal-hal mulia lainnya.

Sungguh celaka, kita ini kurang terlatih dan terdidik untuk mengapresiasi hal-hal yang "luhur dan mulia". Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata-kata itu pun lidah kita mendadak terasa kelu. Keluhuran dan kemuliaan kini menjadi wacana minoritas dalan ranah kognitif maupun afektif kita. Disket keluhuran dan kemuliaan baru kita pakai, ketika harus menjaga citra diri untuk disebut jujur, adil, demokratis dan selanjutnya. Padahal kita tahu dan sadar bahwa kata-kata bukan hanya berhenti sebagai ungkapan verbal belaka, bukan sebuah realita empiris. Ya, alangkah jauhnya antara letak lidah dari hati nurani dan akal sehat kita. Hati nurani, dan akal sehat setiap detak jantung selalu digempur dengan dahsyatnya agar jalan untuk mencapai "kepentingan jangka pendek" bisa rata, mulus tanpa penghalang dan perintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar