Kita ganyang status quo! Kita hadang status quo! Kira-kira begitulah jika ungkapan-ungkapan, aktifitas-aktifitas, atau manuver-manuver orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai proreformasi diterjemahkan dalam kalimat-kalimat singkat. Ya, apakah status quo merupakan makhluk yang sangat menakutkan? Status quo dipahami sebagai kemapanan, kondisi tidak ada perubahan, atau menurut KBBI diartikan keadaan dewasa ini. Dewasa ini maksudnya adalah orba waktu itu, jadi kalau sekarang tentunya ya dimaknai orang-orang yang ingin mempertahankan dan atau mengembalikan kejayaan orde baru.
Orba banyak direpresentasikan sebagai sebuah kekuasaan yang penuh dengan penyimpangan, penyelewengan dan kesewenang-wenangan. Ada kementerian pendidikan dan kebudayaan, bukannya menggulirkan pendidikan ke arah kecerdasan politik malah memberangus gerakan, cetusan, bisikan, bahkan sekedar angan-anagan untuk "memerdekakan" diri. Segala upaya untuk mengekspresikan jati diri selalu dicurigai sebagai gerakan yang mengancam stabilitas nasional dan dituduh anti Pancasila. Hal tersebut pernah saya alami langsung, dalam bentuk penculikan, penganiayaan fisik serta mental walau akhirnya "dilepaskan" begitu saja dengan alasan salah tangkap, padahal mereka tidak mempunyai bukti cukup ketika saya melawannya dengan bukti-bukti yang jelas. Allahlah tempat kita bersandar!
Kejahatan orba lebih menonjol dan mengerikan di bidang politik dibandingkan kejahatan di bidang ekonomi. Sehingga layaklah sekarang banyak yang meminta kembali seperti jaman orba karena masyarakat belum puas dalam pembangunan ekonomi dewasa ini. Masyarakat perlu disadarkan bahwa kelumpuhan hak-hak politik akan membawa mereka pada kelumpuhan hak-hak lainnya yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi lebih-lebih hak kepemimpinan.
Namun ada satu catatan penting yang obyektif, yang berbahaya sebenarnya kemapanannya atau perilaku otoriternya? Kira-kira siapapun yang mendeklarasikan diri sebagai proreformasi dan anti status quo (nota bene temen-temen saya sendiri) yang sekarang banyak menjadi penguasa itu mampu memberikan perubahan di era kini. Apakah mampu mensejahterakan, menegakkan keadilan dan mengayomi rakyat ketika sedang berkuasa? Bisakah mereka tidak bertindak otoriter saat memegang kendali negeri ini? Bisakah untuk jujur dan merubah Indonesia dengan hati jernih dan pikiran yang dingin, tanpa korupsi dan kepentingan golongannya saja? Mereka kini jadi anggota dewan terhormat, jadi pegawai pangreh praja, jadi penguasa wilayah kabupaten, jadi pengendali hukum...
Janganlah kita mengaku cinta Qur'an dan Sunnah jika tidak mampu berusaha menangkap rambu-rambu hikmah dari keduanya. Ada empat rambu-rambu tersebut :
1. Yang mencintai anarki tidak mungkin dapat menebar kesejahteraan kepada rakyat saat berkuasa. Cobalah lihat kawan-kawan semua, massa sebuah partai atau ormas begitu akrab berperilaku hura-hura dan huru hara. Ini sebuah indikasi bahwa petinggi partai atau ormas tahu perilaku pendukungnya tetapi sengaja membiarkan dan tidak memperingatkannya, berarti dapat disimpulkan begitulah karakter, corak perjuangan atau platform organisasinya. Payah! Bagaimana mereka nanti jadi penguasa ketika masih belum punya kekuasaan saja seperti itu. Kemungkinan lain, petinggi parpol atau ormas itu tak mampu mengendalikan massa atau konstituennya walaupun sudah sedemikian rupa dinasehati. Wah, ini juga ngeri! Bagaiman mereka jika sudah jadi pemegang kekuasaan, pasti akan tersandera oleh konstituennya sendiri. Belum berkuasa saja tak mampu mengendalikan kelakuan punggawanya, tentunya ketika berkuasa lebih tak berdaya karena takut. Atau mungkin elit parpol atau ormas tersebut sama sekali tidak tahu kalau massanya bertindak brutal. Lalu, mana mungkin mereka mampu mendengar, melihat dan memperhatikan penderitaan rakyat lebih banyak, terutama diluar konstituennya ketika mereka nanti berkuasa.
2. Siapapun yang berani mengorbankan "kepentingan" Allah Ta'ala, tentunya pasti tidak akan segan-segan mengorbankan kepentingan manusia. Siapapun yang menggunakan ayat-ayatNya sekehendak perutnya sendiri, pasti akan mempermainkan hak-hak manusia. Siapapun yang berbeda pandangan dengannya dituduh sektarian atau fundamentalis, justru inilah neo orde baru.
3. Semua insan di Indonesia tercinta harus terus menerus membangun hubungan dengan Allah Ta'ala, membina diri agar terus dekat denganNya dan mengemban amanat manusia. Jika seseorang mendidik diri serta keluarga dan masyarakat sekitarnya untuk siap berjuang dengan nyawa dan harta, maka sudah pasti tidak akan mau menjarah (baca:korupsi) milik orang lain. Jika bertentangan dengan ini maka dia duplikat orde baru.
Bagaimana reformasi tanpa pijakan wahyu Ilahi? Hanya akan memperbaiki cara mengintimidasi agar lebih kuat membungkam, gaya menyiksa agar lebih menyakitkan dan kiat memanipulasi kebenaran agar lebih sulit diungkap. jadi orde reformasi berpeluang sama dengan orde baru, bal hum adhall*.
Semoga bermanfaat, astaghfirullah wahuwa 'ala kulli syai'in qadir.
*Bahkan, lebih jelek!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar