Sejak tidak berkiprah di dunia pendidikan formal, saya kangen salah satu mata pelajaran favorit sejak SD sampai SMA. Bahkan ketika mengajar di SMP Al Manaar pun memegang mata pelajaran yang kurang disuka banyak siswa. Betul tebakan anda, SEJARAH!
Dalam survey yang dilakukan guru BP terhadap minat anak didik terhadap mata pelajaran di sekolah tempat saya mendidik, alhamdulillah pelajaran Sejarah mendapat juara pertama ganda bersama Olah Raga. Huahaha... Namun ini bukanlah saya anggap berhasil membuat anak-anak suka sejarah, tujuan pelajaran sejarah adalah untuk memberikan pengetahuan dan memberi nilai. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Di situ tidak ada penegasan bahwa pengajaran sejarah untuk melakukan penafsiran faktual bagi kepentingan seseorang atau kekuasaan golongan. Sebuah dosa besar jika pelajaran sejarah diberikan untuk tujuan melanggengkan dan menegakkan sebuah kekuasaan. Saya selalu menekankan kepada siswa-siswi agar jangan hanya belajar sejarah saja namun belajarlah dari sejarah.
Pelajaran sejarah dari SD sampai SMA sebaiknya memang terintegrasi dengan tujuan si anak mengetahui dan memahami proses berbangsa dan bernegara sehingga mereka menikmati hasilnya seperti sekarang. Tidak ada sesuatu yang mak bedunduk jadi. Semua melalui sebuah proses, proses pergumulan yang dahsyat luar biasa. Dan dimana semua peristiwa yang terjadi, bangsanya terlibat baik dalam pengertian positif dan negatif. Ini sebuah obyektivitas yang harus disampaikan kepada para pelajar kita. Inovasi dan kreatifitas dalam mengajar sejarah membuat mereka akan tertarik dan kemudian tereksplorasilah pemikiran-pemikiran jernih untuk membawa perubahan bagi bangsanya di masa depan. Mungkin gaya itulah yang membuat mereka selalu menunggu pelajaran saya, up to date, dapat dipertanggungjawabkan, sedikit ada 'ngakaknya' atawa menghibur dan disiplin logis!
Materi yang selama ini saya lihat di kurikulum masih pola sejarah kolonial. Buku-buku pelajaran sejarah hanya mengganti hal-hal yang bersifat kolonial menjadi bersifat nasional. Jadi cuma dibalik, sedang pola tetap sama. Sehingga hal tersebut mestinya pihak pemangku kebijakan di pusat harus segera merubahnya. Kemudian dalam menyampaikan sejarah harus juga memberitahukan anak tentang sosiologi, anthropologi, dan geografi. Tidak terpisah-pisah sebagaimana seperti selama ini. Dari geografi kita tahu perut bumi Papua itu mengandung apa saja, sehingga mereka tidak gegabah dalam menambangnya. Demikian pula di Borneo atau Kalimantan ketika belajar tentang hutan dan anggrek hitam serta orangutannya, jadi tidak semena-mena menebanghabiskan kayunya, memburu flora faunanya hingga punah. Bahkan kadang saya ketika menyampaikan tentang Perang Atjeh harus rela menggambar peta gerilya Cut Nya' Dhien di papan tulis. Mengapa tidak menggunakan peta baku, hanya menunjukkan kepada siswa harus paham bukan sekedar manja pada peraga. Para murid harus tahu proses itu!
Ketika mengenal etnis satu dengan etnis lainnya yang sangat beragam adat istiadatnya, anak-anak dipersiapkan memahami arti kebersamaan. Makna kebhinnekaan, beda budaya, beda bentang alamnya dan beda sejarahnya. Namun tidak sampai disitu, bagaiman proses bersama itu terjadi sangat panjang sehingga terbentuk sebuah bangsa. Disinilah ada sejarah, disinilah ada anthropologi, disinilah ada sosiologi dan disinilah ada geografi. Banyak diantara rekan guru yang belum menerapkan keintegrasian semacam itu, dan korelasi sejarah masa lalu dengan kemasakinian. Akhirnya mereka para murid merasa bosan. Bahkan ada guru yang pernah nanya ke saya, tentang buku sejarah begitu banyak di koleksi perpustakaan pribadi yang sekarang menjadi Taman Bacaan Rakyat. Dia bilang," Pak Aan itu guru apa murid?" Maksudnya guru itu dianggap sudah tidak perlu buku alias sudah pinter dan tak perlu belajar serta baca buku-buku lagi. Aneh!
Belum lagi banyak buku-buku sejarah yang saya baca hanya menyesatkan karena kesalahan faktual. Kemudian adapula yang hanya menokohkan seseorang saja seagai aktor tunggal dengan kepahlawanannya tanpa pengupasan kekurangannya sebagai manusia biasa yang mempunyai kekurangan. Mestinya obyektivitas dikedepankan, seperti dalam kasus orde baru. Soeharto sangat sukses melaksanakan proses pembangunan infrastruktur dan ekonomi selama 32 tahun namun juga disampaikan bahwa dalam proses perjalanan itu ada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ini semua sinambung dan disampaikan secara utuh.
Sejarah adalah sebuah ilmu yang selalu terbuka bagi penulisan ulang karena ia tidak berhenti pada satu titik tertentu. Ketika ditemukan data dan fakta baru yang lebih akurat dan valid maka berkembanglah sejarah itu atau direvisilah sejarah. Sejarah adalah dialog tanpa akhir, argumen tanpa akhir, dan guru harus mengatakan itu kepada anak. Sejarah nasional juga mestinya guru menyampaikan secara arif dan bijaksana dengan memperhatikan sejarah lokal. Misalnya, bagi siswa Papua lebih ditekankan tentang perjuangan Silas Papare, Elizer Bonay dan Frans Kaisiepo dengan prosentase yang lebih dibandingkan dengan Tuanku Imam Bonjol dan Diponegoro yang jauh dari kultur mereka.
Yang membedakan guru kita dengan guru sejarah di negara lain adalah akurasi data-datanya. Pelajaran sejarah memang sudah diteliti, dibakukan dan resmi. Buku-buku acuannya banyak dan detail referensinya. Sedangkan guru kita masih mengandalkan satu buku kurikulum yang bisa jadi anak disuruh fotocopy, mencatat dan diterangkan seadanya secara tekstual. Padahal buku-buku sejarah kita masih berpola kolonial. Sejarah perang dan tokoh, itu berarti sejarah politik kekuasaan. Bukan sejarah sosial seperti bagaiman dulu rakyat berjuang. Kita termasuk bangsa yang sering teledor dan tidak menghargai sejarah. Hal ini terlihat miskinnya dokumentasi bersejarah, hanya ada khayalan karangan dan dongeng saja. Padahal Al Qur'an di dalamnya memberikan contoh kisah-kisah nyata yang menakjubkan dengan data lapangan yang akurat.
Selamat menjadi pelaku sejarah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar