Ketika saya masih tinggal di Cilacap, belajar tentang karakteristik masyarakat Banyumas Raya yang terkenal blaka suta. Mereka suka berterus terang, daripada suatu beban penderitaan itu dipendam dalam hati. Memang sangat diperlukan keterusterangan dalam komunikasi, walaupun bagi masyarakat Jawa pada umumnya ada yang keterusterangan itu diejawantahkan dalam bentuk sasmita atau perlambang sehingga bagi yang belum cerdas tidak bisa memahami maksudnya. Bagi masyarakat Banyumas dan sekitarnya, mereka lebih suka yang tanpa perlambang, semua keluar dengan sendirinya thok thel atau kalo di Rembang langsung thok leh permasalahan.
Bagi masyarakat Jawa khususnya Komunitas Sedulur Sikep yang mengikuti tradisi gerakan Samin Surosentiko (ada yang menyebutnya Samin Surontiko) alias ajaran Raden Qohar bin Raden Soerowidjaja, juga menyampaikan sesuatu tanpa aling-aling. Mereka berjuang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pada zaman kolonial atau penjajahan tidak melalui kekerasan. Radikalisme bagi mereka sudah nggak usum. Karena secara logika tindakan tersebut mudah dipatahkan Belanda dan penjajah lainnya karena kalah persenjataan. Mereka lebih suka menggunakan strategi Logika Pemaknaan Linguistic daripada jalur kekerasan untuk membebaskan diri dari kezhaliman.
Masyarakat Rembang misalnya juga belajar mereduksi alam sekitarnya seperti pantai, pegunungan kapur, hutan jati, tegalan nan gersang, dan yang lainnya menjadi bahasa atau budaya masyarakat yang berbasis kearifan lokal. Mereka menjadikan lingkungan bukan saja sebagai lahan bermata pencaharian seperti pantai rawa dan laut untuk kenelayanan (kekuatan ekologi bahari) serta pegunungan untuk kekuatan ekologi pertanian, namun juga sebuah kekuatan kebudayaan yang menyatu dengan alam sekitarnya. Mereka merasa lebih tentram dalam kondisi seperti itu, daripada mengeksploitasi alamnya secara berlebihan, misalnya untuk penambangan yang merusak ekologi yang ada dalam jangka panjang. Ketika mampu memenuhi janjinya untuk mengembalikan pinjaman anak cucu, hati terasa Plong! Dan ketika malaikatul maut menjemput, ruh keluar dari kaki ke kepala halus sekali karena ikhlas meninggalkan yang baik. Los!
Ungkapan," Los ngana!" bagi masyarakat Cilacap yang setiap harinya bergelut dengan dunia kemaritiman yang cukup keras sering terdengar di telinga saya. Hal tersebut bermaksud menolerir seseorang, atau menyetujui tindakan seseorang. Melepas kepergian putra putrinya merantau, ungkapan 'los' menunjukkan melepaskan dengan rasa ridho. Sebagaimana kalau kita sedang naik sepeda, mereka merasakan serrr ketika sepedanya 'los' alias lepas rantai, cuma yang ini bikin jengkel. Perasaan mengeloskan sama dengan melepaskan, memerdekakan, membiarkan dan membebaskan.
Demikian juga perlawanan di Karesidenan Rembang waktu itu dengan gerakan sosial sebagaimana Mahatma Gandhi di India yang tanpa kekerasan diantaranya tidak mau membayar pajak dan kerja rodi. Ketika ditangkap dan dibawa ke pengadilan, mereka berargumentasi bahwa tidak ada perlunya membayar pajak. Ketika ditanyakan apakah mereka gila atau pura-pura gila? Dijawabnya," Saya tidak gila dan saya tidak pura-pura gila." Pengadilan dan pejabat menjelaskan pentingnya membayar pajak untuk membangun infrastruktur seperti jalan dan irigasi. Mereka menjawab,"Pemerintah (baca: Penjajah) hanya mintanya uang saja, kalau masalah jalan rusak kami pun bisa memperbaiki sendiri dengan uang kami." Coba bagaimana kritisnya mereka, menggunakan logika kemandirian atau keswadayaan, kejujuran dan nilai-nilai otonomi bagi wilayahnya.
Kadang dianggap gila karena ketika dipaksa menyerahkan uangnya, mereka sengaja mencangkul tanah dan memasukkan uangnya ke dalam tanah dengan alasan daripada uangnya diserahkan pemerintah lebih baik diserahkan bumi yang selama ini telah tumbuh berbagai macam tanaman yang mereka konsumsi. Dasar wong moyek! Namun itulah mereka, sewa tanah untuk bumi yang hanya milik Penguasa Alam Allahu Ta'ala bukan menyewa tanah miliknya penjajah. Los!
Model perjuangan yang santun, dengan bahasa yang lugas kadang juga sulit diterima masyarakat umum. Contohnya ketika seseorang bertamu, maka tidak diucapkan,"Mangga, pinarak..." (Mari, silakan duduk...). Alasannya, hal itu mengurangi kebebasan sang tamu, mestinya tamu disambut cukup dengan senyuman dan kabar keselamatan. Selanjutnya hak tamu melakukan apa yang diinginkan, misalnya mau berdiri, atau duduk, atau nungging bahkan mau ke belakang atau tetap di luar saja. Pokoknya membebaskan, mengeloskan tanpa ada tekanan dan aturan yang berbelit-belit. Sebuah revolusi pembebasan, dahsyat!
Ketika diberikan bantuan dari orang lain, biasanya mereka tidak mengucapkan terimakasih. Wah ini gak sopan! Janganlah kita menghakimi terleih dahulu sebelum bertanya,"Mengapa anda tak berterimakasih?" Mereka pun menjawab dengan hormat,"Bukankah pemilik sesuatu itu Allah, sehingga cukup hamdalah yang kita ucapkan, kalau kepada makhluk walaupun sebagai washilah (perantara.red) tentunya pemberian itu disertai dengan keikhlasan yang tak lagi memerlukan ucapan terimakasih. Wong saya juga nggak minta, karena tidak ada dalam kamus besar gerakan kami menjadi pengemis!" Coba Bro: renungkanlah.... Pemaknaan keikhlasan dan ketulusan serta rasa syukur yang teramat dalam.
Ketika ditanyakan tentang usia, mereka menjawab bahwa usianya satu. Usia adalah hidup, sedang hidup itu dengan nyawa. Selama Allah Ta'ala memberikan kesempatan beramal di dunia, maka nyawa hanya diberikan satu saja. Tidak ada ukuran tertentu, batasan tertentu, aturan tertentu tentang usia. Pasrah ing agesang. Hidup dengan menyelaraskan alam yang ada, mengikuti aturan Tuhannya Adam Alaihi Salam. Sehingga hidup ini pun terasa LOS! Ketika Tuhan memintanya kembali, maka Katakan: LOS!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar