Ini bukan main tembak-tembakan seperti anak kecil yang di Papua kemaren. Karena anak-anak yang main berbunyi: Dol...Dol...Dol! (Aslinya Dooorr!!!). Dol yang saya maksudkan juga bukan Departemen of Labor miliknya USA, namun dol yang memiliki makna sesuatu (bukan karena trend Syahrini!) yang tidak berfungsi karena longgar atau tidak erat lagi alias galir. Biasanya, erat hubungannya dengan ulir, skrup, baut dan sebagainya. Karena ada kemiripan dengan 'los' maka akan sedikit saya bahas, yang sebenarnya cukup berbeda.
Sesuatu yang sudah longgar sehingga tidak berfungsi, memang berbeda dengan plong dan los. Akibat terlalu longgar alias tidak pas justru membuat tidak plong rasanya. Misalnya, aturan dari norma-norma yang disepakati ditabrak kemudian penegakan hukumnya terlalu longgar atau sudah dol dikarenakan adanya mafia, mengakibatkan adanya ketidakadilan di masyarakat. Hukum tebang pilih, menunjukkan kesewenang-wenangan. Dan wong cilik selalu menjadi sasaran. Hukum sudah dol dan vonis hakim dijadikan dodolan.
Sesuatu yang sudah dol biasanya dibuang karena rusak. Banyak juga lembaga di Indonesia yang sudah dol dan selayaknya untuk diafkir dan dirongsok. Masih lumayan, selawuhan! Karena untuk memperbaikinya membutuhkan biaya yang lebih besar dari pada beli baru atau buat yang baru. Sekrup yang dol contohnya, kumpulin saja kalo ada satu ton bawa ke rongsok dan hasilnya sumbangkan ke anak yatim piatu. InsyaAllah lebih manfaat. Atau kalau kreatif buatlah hand made, sehingga menjadi oleh-oleh khas daerah anda.
Ada lagi yang dol sebagai ungkapan bagi pasangan yang sudah uzur. Sehari entah karena apa bisa kentut ratusan kali, maka dikatakan duburnya sudah dol. Disini diartikan bahwa dol adalah longgar, makanya dah berkurang fungsinya. Apalagi bagi ibu-ibu lansia, menjadi trauma tersendiri jika sudah longgar alias dol. Tubuhnya longgar dan melar, bagian sensitifnya (maap!) dah longgar membuat kalang kabut cari jamu sari rapet bahkan sampai operasi perawan seperti Dewi Perssik. Khawatir enggak bisa memuaskan pasangannya. Kulit keriput juga menjadi masalah bagi mereka. Jika pernikahan diniati karena bukan selain Allah, begitulah akhirnya. Dol syndrome! Huahaha......
Jika pemaknaan dol sama dengan renggang, ini juga sesuatu yang jangan sampai terjadi. Seperti mur dan baut tentunya bisa klop. Demikian pula suami istri juga jangan sampai renggang karena permasalahan yang sepele. Komunikasi menjadi salah satu kunci. Ingat, karena kesalahpahaman yang dilakukan Nabi Ayyub terhadap istrinya yang ikhlas setia menemani tatkala terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Justru Ayyub alaihi salam bersumpah akan memukul istrinya 100 kali jika sudah sembuh. Antara pemimpin dengan rakyatnya. Antara ulama dengan umatnya. Antara guru dengan muridnya. Antara penjual dengan konsumennya. Dan antara Tuhan dengan hambaNya. Antara manusia dengan manusia lainnya. Antara manusia dengan makhluk dan alam sekitarnya. Semua haruslah trep, bukan sebaliknya malah menjadi dol.
Sesuatu yang sudah longgar sehingga tidak berfungsi, memang berbeda dengan plong dan los. Akibat terlalu longgar alias tidak pas justru membuat tidak plong rasanya. Misalnya, aturan dari norma-norma yang disepakati ditabrak kemudian penegakan hukumnya terlalu longgar atau sudah dol dikarenakan adanya mafia, mengakibatkan adanya ketidakadilan di masyarakat. Hukum tebang pilih, menunjukkan kesewenang-wenangan. Dan wong cilik selalu menjadi sasaran. Hukum sudah dol dan vonis hakim dijadikan dodolan.
Sesuatu yang sudah dol biasanya dibuang karena rusak. Banyak juga lembaga di Indonesia yang sudah dol dan selayaknya untuk diafkir dan dirongsok. Masih lumayan, selawuhan! Karena untuk memperbaikinya membutuhkan biaya yang lebih besar dari pada beli baru atau buat yang baru. Sekrup yang dol contohnya, kumpulin saja kalo ada satu ton bawa ke rongsok dan hasilnya sumbangkan ke anak yatim piatu. InsyaAllah lebih manfaat. Atau kalau kreatif buatlah hand made, sehingga menjadi oleh-oleh khas daerah anda.
Ada lagi yang dol sebagai ungkapan bagi pasangan yang sudah uzur. Sehari entah karena apa bisa kentut ratusan kali, maka dikatakan duburnya sudah dol. Disini diartikan bahwa dol adalah longgar, makanya dah berkurang fungsinya. Apalagi bagi ibu-ibu lansia, menjadi trauma tersendiri jika sudah longgar alias dol. Tubuhnya longgar dan melar, bagian sensitifnya (maap!) dah longgar membuat kalang kabut cari jamu sari rapet bahkan sampai operasi perawan seperti Dewi Perssik. Khawatir enggak bisa memuaskan pasangannya. Kulit keriput juga menjadi masalah bagi mereka. Jika pernikahan diniati karena bukan selain Allah, begitulah akhirnya. Dol syndrome! Huahaha......
Jika pemaknaan dol sama dengan renggang, ini juga sesuatu yang jangan sampai terjadi. Seperti mur dan baut tentunya bisa klop. Demikian pula suami istri juga jangan sampai renggang karena permasalahan yang sepele. Komunikasi menjadi salah satu kunci. Ingat, karena kesalahpahaman yang dilakukan Nabi Ayyub terhadap istrinya yang ikhlas setia menemani tatkala terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Justru Ayyub alaihi salam bersumpah akan memukul istrinya 100 kali jika sudah sembuh. Antara pemimpin dengan rakyatnya. Antara ulama dengan umatnya. Antara guru dengan muridnya. Antara penjual dengan konsumennya. Dan antara Tuhan dengan hambaNya. Antara manusia dengan manusia lainnya. Antara manusia dengan makhluk dan alam sekitarnya. Semua haruslah trep, bukan sebaliknya malah menjadi dol.
Seperti Indonesia, haruslah dari Pulau We sampai Papua. Dari Rote sampai Talaud dan Sangihe saling berpadu disambungkan oleh perairan lautan. Cara pandang yang kurang tepat jika dikatakan lautan justru sebagai penghambat atau pemisah. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar