Karut marut bangsa sering dihubungkan dengan masalah politik. Sedangkan politik tentunya tidak bisa terlepas dari peran partai politik yang ada. Masyarakat menunggu peran dan kemanfaatan partai untuk kesejahteraannya, agar partai benar-benar representasi dari suara rakyat. Jika sebaliknya partai hanya menjadi tunggangan politik bagi pengurusnya saja maka tentu akan ditinggalkan oleh konstituennya. Disinilah berbagai silang sengkarut itu, kepentingan pribadi dan golongan seringkali mengalahkan kepentingan nasional, ya kepentingan bangsa benar-benar terabaikan, rakyat yang menjadi korban.
Politik merupakan sebuah keniscayaan yang pasti terjadi, karena manusia ditugaskan oleh Allah Ta'ala sebagai khalifahNya di planet bumi ini. Fungsi kekhalifahan dapat berjalan dengan politik yang baik. Ada fatsun yang mengaturnya, walaupun tentu saja tidak tertulis. Sebagai khalifah, manusia ukan mengatur sesamanya saja namun juga mengatur lingkungan yang ada segenap isinya. Manusia mempunyai dibekali Allah Ta'ala dengan hawa nafsu dan akal nurani. Jika nafsu manusia itu dikendalikan maka kekhalifahannya dapat berjalan dengan baik sebagaimana Allah juga sering disebut Yang Maha Kuasa. Jika manusia diperbudak dengan hawa nafsunya ketika menuju kekuasaan untuk mengatur masyarakat, maka syahwat politik tersebut memerangkap nuraninya. Kezhaliman yang bisa dipastikan terjadi, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Apabila manusia memimpin di bumi dengan kasih sayang sebagaimana Tuhan yang diwakilinya bersifat Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang, akal nuraninya semakin terasah. Semua tindakan dan ucapannya membawa kemaslahatan untuk umat manusia beserta makhluk lainnya. Diantara sifat kasih sayang dan kepemimpinan itu terdapat sifat keadilan. Manifestasi keadilan manusia yaitu ketika mampu menempatkan 'sesuatu' pada proporsinya, tidak memutar balik fakta dan data, dan tidak 'ter-la-lu!'.
Sebagai sebuah ilmu, politik mengatur konstitusi suatu bangsa dan negara. Aturan logic itu berlaku bagi semua jenis negara, entah yang republik maupun kerajaan. Regulasi itu diperlukan agar jelas pengontrolannya oleh rakyat. Politik juga sebuah seni yang kalau andaikan kita menonton sebuah pertandingan terlihat indah dan nikmat dirasakan. Bikin seni menjadi serasa Plong! Namun banyak politikus kita yang tidak cantik bermain seni politik walaupun mereka juga banyak yang berasal dari kaum seniman atau artis. Terjadi karena seninya tanpa ilmu politik yang benar. Tentunya politik juga bisa kita lihat dari dimensi permainan. Permainan bukan berarti main-main, karena permainan juga utuh keseriusan. Persaingan politik akan menjadi meriah dan menggairahkan jika banyak pemain, dan akan menjadi wagu tur saru kalau hanya pemain tunggal. Nah, semua itu harus berdasarkan landasan fastabiqul khairat disertai cara-cara yang sportif.
Sportivitas yang dimaksud di atas, adalah permainan yang mengacu kepada fatsun, yaitu tatakrama, etika sopan santun. Tidak menabrak batasan norma-norma demokrasi. Sikap yang perlu ditunjukkan oleh partai politik menyikapi langkah-langkah pemerintah seharusnya mengacu kepada kepentingan rakyat. Pertama, apabila pemerintah yang berkuasa memang baik dalam menjalankan roda pembangunan dan rakyat jelas mengetahuinya, maka partai menjaga keharmonisan hubungan tersebut tetap berkelanjutan. Dengan cara mendukung dan menjadi pilar penyangga konsolidasi demokrasi. Kedua, apabila pemerintah mampu menjaga amanah rakyatnya, namun karena kekurangan informasi rakyat menjadi tidak tahu. Atau pemerintah memang tidak bisa menjaga amanah rakyatnya, dan rakyat juga tidak tau maka kewajiban partai politik untuk mengkomunikasikan kepada rakyat tentang kondisi yang sebenarnya. Inilah fungsi partai sebagai sarana komunikasi publik. Ketiga, pemerintahan yang gagal sedangkan rakyat sangat tahu hal itu, maka partai beserta rakyat bahu membahu bersatu mengingatkan (watawa shaubil haq watawa shaubis shabr) dan menyadarkan rezim dari kesalahannya. Partai harus mampu menjadi penyalur aspirasi dan agregasi kepentingan rakyat.
Apapun pilihannya, sebagai partai pendukung koalisi maupun yang memilih oposisi tentunya harus memperhatikan ketiga aspek di atas. Reshuffle kabinet, tentunya ini bukanlah sesuatu yang istimewa. Sehingga partai politik tidak perlu menyikapi dengan saling menyandera. Indonesia tidak perlu menjadi gonjang-ganjing karena nggak penting, sungguh! Siapapun yang menjadi menteri atau presiden pun, harus mengingat ucapan John Fitzgerald Kennedy," My loyality to my party ends when my loyality to my country begins." Jika statement itu dilakukan atau diamalkan maka dapat meredam berbagai gejolak politik yang merugikan kepentingan bangsa. Mereshuffle nuraninya sendiri jika tidak mampu bertugas lebih baik dari pada memikirkan reshuffle tetangga kita yang ganti istri misalnya. Kapan akan menjadi maju negara ini, kalau masih seperti itu. Bahkan saya pernah menjumpai suatu kelurahan yang situasi politiknya panas melebihi panasnya politik kenegaraan karena sukanya bongkar-bongkar nggak mau bongkar pasang. Kalah sama anak saya yang di PAUD, dua tahun dah pinter bongkar pasang. Dampak dari kebodohan politik inilah, rakyat yang dirugikan dan pembangunan tidak berjalan.
Seorang pemimpin terlihat galau dan ragu-ragu dalam bertindak. Penyebabnya banyak conflict interest didirinya. Sulit menempatkan sebagai kader partai (loyal kepada partai bukan kepada rakyat) sekaligus sebagai bagian rakyat itu sendiri yang harusnya loyal kepada negara karena dirinya adalah pejabat negara. Adanya disparitas,divergensi,distingsi,disimilaritas atau apapun sebutannya berupa pertikaian dan perbedaan timbul karena jarak kepentingan. jarak ini mesti diperkecil dengan kembalinya tugas seseorang sebagi khalifah. Dengan ikhlas menempatkan rakyat dan negara diatas kepentingan lainnya. Semua itu jika rangkaian gerbongnya di niati mencari ridho Allah Ta'ala maka bisa menjadi Plong!
Bagaimana mas, tentang kondisi kita sekarang. Kita kurang stock untuk generasi yang bersih, yang menjadi penyapu ketidakberesan yang ada. Awal kemerdekaan, pemimpin negeri ini terlalu sibuk berbenah mempertahankan kemerdekaan. Padahal mereka generasi awal yang pilihan, semangat nasionalismenya sangat tinggi. Dari pejabatnya sampai rakyat jelatanya. Sayang Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, M.Natsir, IJ Kasimo, Soedirman, Kartini dan Semaun tidak mewarisi kepiawaian HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim. Pemimpin yang mampu melahirkan pemimpin. Sehingga dalam babak sejarah selanjutnya di era rezim Soeharto yang ada adalah generasi kepura-puraan. Bayangkan Indonesia dalam kondisi demikian selama 32 tahun. Terjadi lost generation, dan dampaknya juga kita rasakan sampai sekarang ini. Sikap anarkis (bukan nasioanalis) warisan orde lama ketika melawan agresi militer digabungkan dengan kepura-puraan orde baru. Dahsyat! Era yang katanya reformasi, Allahu Akbar sebagai ungkapan takbir dijadikan jajanan dipinggir jalan ketika berlaku anarkis. Namun masih kosong di rumah-rumah ibadah, dan tak pernah dikumandangkan di hati. Mana tokoh-tokoh berintegritas?
Kita tidak boleh pesimis, masih ada waktu. Dan tokoh berintegritas masih bisa lebih banyak berperan, ditingkat lokal, regional dan nasional. Masih ada Buya Syafi'i Ma'arif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan tokoh-tokoh lintas agama, masih ada para kiyai sepuh yang menjaga nurani, masih ada pemuda berprestasi mandiri kreatif, mari terus berjuang. Adagium NU yang terkenal," Al Muhafadzatu 'alal qadim as shalih wal 'akhdzu bil jadid as shalah." Yang lama namun tetap baik mari kita pelihara, dan yang baru asalnya dari luar jika sudah teruji baik, marilah kita manfaatkan untuk kepentingan bersama.
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Politik merupakan sebuah keniscayaan yang pasti terjadi, karena manusia ditugaskan oleh Allah Ta'ala sebagai khalifahNya di planet bumi ini. Fungsi kekhalifahan dapat berjalan dengan politik yang baik. Ada fatsun yang mengaturnya, walaupun tentu saja tidak tertulis. Sebagai khalifah, manusia ukan mengatur sesamanya saja namun juga mengatur lingkungan yang ada segenap isinya. Manusia mempunyai dibekali Allah Ta'ala dengan hawa nafsu dan akal nurani. Jika nafsu manusia itu dikendalikan maka kekhalifahannya dapat berjalan dengan baik sebagaimana Allah juga sering disebut Yang Maha Kuasa. Jika manusia diperbudak dengan hawa nafsunya ketika menuju kekuasaan untuk mengatur masyarakat, maka syahwat politik tersebut memerangkap nuraninya. Kezhaliman yang bisa dipastikan terjadi, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Apabila manusia memimpin di bumi dengan kasih sayang sebagaimana Tuhan yang diwakilinya bersifat Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang, akal nuraninya semakin terasah. Semua tindakan dan ucapannya membawa kemaslahatan untuk umat manusia beserta makhluk lainnya. Diantara sifat kasih sayang dan kepemimpinan itu terdapat sifat keadilan. Manifestasi keadilan manusia yaitu ketika mampu menempatkan 'sesuatu' pada proporsinya, tidak memutar balik fakta dan data, dan tidak 'ter-la-lu!'.
Sebagai sebuah ilmu, politik mengatur konstitusi suatu bangsa dan negara. Aturan logic itu berlaku bagi semua jenis negara, entah yang republik maupun kerajaan. Regulasi itu diperlukan agar jelas pengontrolannya oleh rakyat. Politik juga sebuah seni yang kalau andaikan kita menonton sebuah pertandingan terlihat indah dan nikmat dirasakan. Bikin seni menjadi serasa Plong! Namun banyak politikus kita yang tidak cantik bermain seni politik walaupun mereka juga banyak yang berasal dari kaum seniman atau artis. Terjadi karena seninya tanpa ilmu politik yang benar. Tentunya politik juga bisa kita lihat dari dimensi permainan. Permainan bukan berarti main-main, karena permainan juga utuh keseriusan. Persaingan politik akan menjadi meriah dan menggairahkan jika banyak pemain, dan akan menjadi wagu tur saru kalau hanya pemain tunggal. Nah, semua itu harus berdasarkan landasan fastabiqul khairat disertai cara-cara yang sportif.
Sportivitas yang dimaksud di atas, adalah permainan yang mengacu kepada fatsun, yaitu tatakrama, etika sopan santun. Tidak menabrak batasan norma-norma demokrasi. Sikap yang perlu ditunjukkan oleh partai politik menyikapi langkah-langkah pemerintah seharusnya mengacu kepada kepentingan rakyat. Pertama, apabila pemerintah yang berkuasa memang baik dalam menjalankan roda pembangunan dan rakyat jelas mengetahuinya, maka partai menjaga keharmonisan hubungan tersebut tetap berkelanjutan. Dengan cara mendukung dan menjadi pilar penyangga konsolidasi demokrasi. Kedua, apabila pemerintah mampu menjaga amanah rakyatnya, namun karena kekurangan informasi rakyat menjadi tidak tahu. Atau pemerintah memang tidak bisa menjaga amanah rakyatnya, dan rakyat juga tidak tau maka kewajiban partai politik untuk mengkomunikasikan kepada rakyat tentang kondisi yang sebenarnya. Inilah fungsi partai sebagai sarana komunikasi publik. Ketiga, pemerintahan yang gagal sedangkan rakyat sangat tahu hal itu, maka partai beserta rakyat bahu membahu bersatu mengingatkan (watawa shaubil haq watawa shaubis shabr) dan menyadarkan rezim dari kesalahannya. Partai harus mampu menjadi penyalur aspirasi dan agregasi kepentingan rakyat.
Apapun pilihannya, sebagai partai pendukung koalisi maupun yang memilih oposisi tentunya harus memperhatikan ketiga aspek di atas. Reshuffle kabinet, tentunya ini bukanlah sesuatu yang istimewa. Sehingga partai politik tidak perlu menyikapi dengan saling menyandera. Indonesia tidak perlu menjadi gonjang-ganjing karena nggak penting, sungguh! Siapapun yang menjadi menteri atau presiden pun, harus mengingat ucapan John Fitzgerald Kennedy," My loyality to my party ends when my loyality to my country begins." Jika statement itu dilakukan atau diamalkan maka dapat meredam berbagai gejolak politik yang merugikan kepentingan bangsa. Mereshuffle nuraninya sendiri jika tidak mampu bertugas lebih baik dari pada memikirkan reshuffle tetangga kita yang ganti istri misalnya. Kapan akan menjadi maju negara ini, kalau masih seperti itu. Bahkan saya pernah menjumpai suatu kelurahan yang situasi politiknya panas melebihi panasnya politik kenegaraan karena sukanya bongkar-bongkar nggak mau bongkar pasang. Kalah sama anak saya yang di PAUD, dua tahun dah pinter bongkar pasang. Dampak dari kebodohan politik inilah, rakyat yang dirugikan dan pembangunan tidak berjalan.
Seorang pemimpin terlihat galau dan ragu-ragu dalam bertindak. Penyebabnya banyak conflict interest didirinya. Sulit menempatkan sebagai kader partai (loyal kepada partai bukan kepada rakyat) sekaligus sebagai bagian rakyat itu sendiri yang harusnya loyal kepada negara karena dirinya adalah pejabat negara. Adanya disparitas,divergensi,distingsi,disimilaritas atau apapun sebutannya berupa pertikaian dan perbedaan timbul karena jarak kepentingan. jarak ini mesti diperkecil dengan kembalinya tugas seseorang sebagi khalifah. Dengan ikhlas menempatkan rakyat dan negara diatas kepentingan lainnya. Semua itu jika rangkaian gerbongnya di niati mencari ridho Allah Ta'ala maka bisa menjadi Plong!
Bagaimana mas, tentang kondisi kita sekarang. Kita kurang stock untuk generasi yang bersih, yang menjadi penyapu ketidakberesan yang ada. Awal kemerdekaan, pemimpin negeri ini terlalu sibuk berbenah mempertahankan kemerdekaan. Padahal mereka generasi awal yang pilihan, semangat nasionalismenya sangat tinggi. Dari pejabatnya sampai rakyat jelatanya. Sayang Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, M.Natsir, IJ Kasimo, Soedirman, Kartini dan Semaun tidak mewarisi kepiawaian HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim. Pemimpin yang mampu melahirkan pemimpin. Sehingga dalam babak sejarah selanjutnya di era rezim Soeharto yang ada adalah generasi kepura-puraan. Bayangkan Indonesia dalam kondisi demikian selama 32 tahun. Terjadi lost generation, dan dampaknya juga kita rasakan sampai sekarang ini. Sikap anarkis (bukan nasioanalis) warisan orde lama ketika melawan agresi militer digabungkan dengan kepura-puraan orde baru. Dahsyat! Era yang katanya reformasi, Allahu Akbar sebagai ungkapan takbir dijadikan jajanan dipinggir jalan ketika berlaku anarkis. Namun masih kosong di rumah-rumah ibadah, dan tak pernah dikumandangkan di hati. Mana tokoh-tokoh berintegritas?
Kita tidak boleh pesimis, masih ada waktu. Dan tokoh berintegritas masih bisa lebih banyak berperan, ditingkat lokal, regional dan nasional. Masih ada Buya Syafi'i Ma'arif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan tokoh-tokoh lintas agama, masih ada para kiyai sepuh yang menjaga nurani, masih ada pemuda berprestasi mandiri kreatif, mari terus berjuang. Adagium NU yang terkenal," Al Muhafadzatu 'alal qadim as shalih wal 'akhdzu bil jadid as shalah." Yang lama namun tetap baik mari kita pelihara, dan yang baru asalnya dari luar jika sudah teruji baik, marilah kita manfaatkan untuk kepentingan bersama.
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar