Refleksi dalam rangka Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober 2011.
Bencana kelaparan masih saja berlangsung di berbagai belahan dunia ini. Miris kadang ditemukan sebuah keluarga terkena kasus kelaparan, saya lebih suka menyebutnya demikian dibanding "kaus gizi buruk" yang diperhalus, berada di dekat pusaran kekuasaan. Dan itu terjadi di negeri yang kaya akan bahan pangan. Teriris hati ini, betul saya merasakan kegelisahan yang amat sangat, sampai menitikkan air mata. Bagaimana nasib anak cucu kita kedepan jika kondisi ketahanan pangan masih seperti itu. Masihkah kita hanya berpangku tangan, menyaksikan dan hanya sekedar menyaksikan tanpa action. Atau jangan-jangan kita berada dilingkaran itu. Na'udzubillah.
Melihat Indeks harga pangan (IHP) dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) yang menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan karena dibulan Februari 2011 sudah mencapai posisi 236, setelah satu bulan sebelumnya pada posisi 231. Itu adalah angka tertinggi sejak krisis pangan 2008. Bisa kita bayangkan sejak 2007 sampai 2011 terjadi kenaikan harga komoditas bahan pangan seperti jagung 84%, gandum 55%, gula 62% dan kedelai 47%. Bagaimana kelaparan tidak terjadi, ketika bahan pangan dengan harga tinggi namun pendapatan masyarakat sangatlah rendah, padahal pendapatannya sekitar 70% untuk pangan? Maka tak heran ketika daya beli menjadi rendah dengan adanya inflasi akibat kenaikan harga pangan, walaupun petani tak menikmati arti dari kenaikan harga tersebut.
Sering saya mengungkapkan kata pangan sebagai mati hidupnya bangsa ini, menyitir apa yang disampaikan Bung Karno dalam Dies Natalis Institut Pertanian Bogor. Agar peradaban ke depan tidak terancam maka diperlukan kemandirian. Cukup indah yang disampaikan petinggi negeri ini, kesiapannya dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia. Dalam realita empirisnya, masih banyak disekitar kita yang masih kekurangan pangan. Banyak dikatakan terjadi surplus beras, namun banyak terjadi kelaparan menjadi bukti adanya ketidakmerataan.
Temen-temen, walaupun kita mengupayakan kebijakan pemerintah melalui legal obligation, desakan moral dan politik bahkan desakan ekonomi, tidak akan mampu mewujudkan ketahanan pangan tanpa kesadaran kita, khususnya kaum cilik wong tani sebagai soko guru ketahanan pangan nasional. Keberdikarian itu sangat diperlukan. Lumbung-lumbung padi kita isi, padi digunakan selain untuk pangan sendiri juga di jadikan komoditas utama untuk didistribusikan secara merata di nusantara. Demikian pula tanaman pangan substitusi seperti ganyong, uwi, gembili, garut/irut, sukun dan lain-lain juga selalu diinovasi pengolahannya. Masyarakat Indonesia pasti mampu, karena sudah teruji cukup kokoh menangani krisis pangan sejak jaman penjajahan Belanda, jaman pendudukan Japan dan masa sulit perjuangan revolusi.
Tentunya hal ini sesuai yang saya kemukakan di atas, bahwa pemerintah juga koordinasi antar instansi yang menangani masalah ini. Janganlah antara Menteri Perdagangan tidak sejalan dengan kebijakan Menteri Pertanian. Sehingga beras mesti impor dari Vietnam, Thailand dan India. Demikian pula dengan DPR jangan hanya mencari proyek APBN untuk kelompok tani konstituennya saja bahkan berujung kepada kasus korupsi. Bantuan lenyap atau misalnya terserap pun tidak dapat berkembang karena tidak diimbangi adanya penyiapan SDM yang berkualitas dan pendampingan berkelanjutan. Pemenuhan pangan nasional yang bertumpu kepada kekuatan bangsa sendiri inilah menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Semoga Allah Ta'ala memberikan kekuatan kepada semua elemen yang peduli kepada pertanian khususnya ketahanan pangan nasional. Petani kita menjadi subyek, bukan pemeran figuran dalam drama sosial dunia pertanian. Mereka menjadi aktor utama yang handal untuk melewati krisis pangan yang diperkirakan terus berlanjut samapi 2025. Waspadalah semoga selamat sampai tujuan.
Melihat Indeks harga pangan (IHP) dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) yang menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan karena dibulan Februari 2011 sudah mencapai posisi 236, setelah satu bulan sebelumnya pada posisi 231. Itu adalah angka tertinggi sejak krisis pangan 2008. Bisa kita bayangkan sejak 2007 sampai 2011 terjadi kenaikan harga komoditas bahan pangan seperti jagung 84%, gandum 55%, gula 62% dan kedelai 47%. Bagaimana kelaparan tidak terjadi, ketika bahan pangan dengan harga tinggi namun pendapatan masyarakat sangatlah rendah, padahal pendapatannya sekitar 70% untuk pangan? Maka tak heran ketika daya beli menjadi rendah dengan adanya inflasi akibat kenaikan harga pangan, walaupun petani tak menikmati arti dari kenaikan harga tersebut.
Sering saya mengungkapkan kata pangan sebagai mati hidupnya bangsa ini, menyitir apa yang disampaikan Bung Karno dalam Dies Natalis Institut Pertanian Bogor. Agar peradaban ke depan tidak terancam maka diperlukan kemandirian. Cukup indah yang disampaikan petinggi negeri ini, kesiapannya dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia. Dalam realita empirisnya, masih banyak disekitar kita yang masih kekurangan pangan. Banyak dikatakan terjadi surplus beras, namun banyak terjadi kelaparan menjadi bukti adanya ketidakmerataan.
Temen-temen, walaupun kita mengupayakan kebijakan pemerintah melalui legal obligation, desakan moral dan politik bahkan desakan ekonomi, tidak akan mampu mewujudkan ketahanan pangan tanpa kesadaran kita, khususnya kaum cilik wong tani sebagai soko guru ketahanan pangan nasional. Keberdikarian itu sangat diperlukan. Lumbung-lumbung padi kita isi, padi digunakan selain untuk pangan sendiri juga di jadikan komoditas utama untuk didistribusikan secara merata di nusantara. Demikian pula tanaman pangan substitusi seperti ganyong, uwi, gembili, garut/irut, sukun dan lain-lain juga selalu diinovasi pengolahannya. Masyarakat Indonesia pasti mampu, karena sudah teruji cukup kokoh menangani krisis pangan sejak jaman penjajahan Belanda, jaman pendudukan Japan dan masa sulit perjuangan revolusi.
Tentunya hal ini sesuai yang saya kemukakan di atas, bahwa pemerintah juga koordinasi antar instansi yang menangani masalah ini. Janganlah antara Menteri Perdagangan tidak sejalan dengan kebijakan Menteri Pertanian. Sehingga beras mesti impor dari Vietnam, Thailand dan India. Demikian pula dengan DPR jangan hanya mencari proyek APBN untuk kelompok tani konstituennya saja bahkan berujung kepada kasus korupsi. Bantuan lenyap atau misalnya terserap pun tidak dapat berkembang karena tidak diimbangi adanya penyiapan SDM yang berkualitas dan pendampingan berkelanjutan. Pemenuhan pangan nasional yang bertumpu kepada kekuatan bangsa sendiri inilah menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Semoga Allah Ta'ala memberikan kekuatan kepada semua elemen yang peduli kepada pertanian khususnya ketahanan pangan nasional. Petani kita menjadi subyek, bukan pemeran figuran dalam drama sosial dunia pertanian. Mereka menjadi aktor utama yang handal untuk melewati krisis pangan yang diperkirakan terus berlanjut samapi 2025. Waspadalah semoga selamat sampai tujuan.
mantapppp............
BalasHapus